Sabtu, 15 Desember 2007

PERAN PENTING ASPEK HIDROLOGI DALAM PENCEGAHAN DAN PEMADAMAN KEBAKARAN HUTAN DI LAHAN GAMBUT

PERAN PENTING ASPEK HIDROLOGI DALAM PENCEGAHAN DAN PEMADAMAN

KEBAKARAN HUTAN DI LAHAN GAMBUT


Oleh


Bejo Slamet

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai penyerabaran gambut yang luas dan diperkirakan meliputi areal seluas 26 juta hektar (ada yang mengatakan 27 juta ha), dan kurang lebih 16 juta hektar merupakan gambut dataran rendah (lowland) yang tersebar di pulau Sumatra bagian timur kurang lebih 9,7 juta ha (Riau, Jambi dan Sumatera Selatan), Kalimantan kurang lebih 6,3 juta ha (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan) dan sisanya tersebar setempat-tempat di pulau jawa. Mengenai besarnya luas gambut di Indonesia perlu dilakukan inventarisasi kembali untuk mengetahui jumlah yang sebenarnya dan untuk menyusun strategi pengelolaan, karena pada tahun 1997 terjadi kebakaraan hutan besar-besaran, sehingga dimungkinkan luas gambut di Indonesia juga semakin berkurang (Budianta, 2003). Di daerah tropis gambut dapat terbentuk di dataran tinggi karena prombakan bahan organik terhambat oleh suhu yang rendah (misalnya di daerah pegunungan di atas 2000 m di atas permukaan air laut), sedangkan di daerah rawa-rawa dataran rendah gambut terbentuk karena perombakan bahan organik terhambat oleh lengas (moisture) yang berlebihan.

1.1. Pengertian Gambut

Semula para pakar tanah dari Eropa berpendapat bahwa gambut tidak akan ditemukan di daerah tropika (seperti Indonesia) yang mempunyai temperatur tinggi, dengan alasan bahan organik dari tetumbuhan akan cepat terdekomposisi oleh jasad renik dan tidak terlonggok di daerah beriklim panas. Akan tetapi dugaan tersebut ternyata tidak benar, karena Bernelot Moens dan Van Vlaardingen pada tahun 1865 menemukan gambut di Karesidenan Besuki dan Rembang. Hasil ekspedisi Yzerman di Sumatra tahun 1895 juga melaporkan adanya gambut di daerah Siak, bahkan pada tahun 1794 John Andersen telah menyebutkan bahwa di Riau terdapat gambut (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976 dalam Budianta, 2003). Kemudian baru pada tahun 1909 Potonie dan Kooders mengumumkan bahwa di Indonesia telah diketemukan gambut pada berbagai tempat.

Para pakar dan peneliti tanah dari beberapa negara banyak menggunakan istilah gambut yang berbeda-beda seperti Moorpeat (Australia), organic soil (Kanada), Soil hydromorphes organiques (Perancis), Moorboden (Jerman), Histosol (USA), Bog Soil (USSR), tanah gelam (Malaysia), Veen atau Venuge Grond (Belanda), Peat atau peaty soils (Inggris), tanah organik, tanah rawang, tanah daun, tanah gambut (Indonesia) (Budianta, 1988).

Dengan demikian gambut terdiri dari tumpukan bahan organik yang belum terdekomposisi (tidak terdekomposisi dengan baik), yang memerangkap dan menyerap karbon di dalamnya dan membentuk lahan dengan profil yang disusun oleh bahan organik dengan ketebalan mencapai lebih dari 20 meter. Tanaman-tanaman yang tumbuh di atas gambut membentuk ekosistem hutan rawa gambut yang mampu menyerap karbondioksida dari atmosfer untuk berfotosintesis dan menambah simpanan karbon dalam ekosistem tersebut.

1.2. Proses Pembentukan Gambut

Gambut terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga terbentuk daerah-daerah cekungan, Menurut Köppen, gambut banyak terdapat di daerah dengan tipe iklim Af dan Cf dengan curah hujan lebih daripada 2500 mm/tahun tanpa ada bulan kering. Dengan demikian vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan baik, sehingga menghalangi masuknya sinar matahari yang akhirnya menyebabkan kelembaban tanah sangat tinggi. Ketinggian daerah tersebut biasanya kurang daripada 50 meter di atas permukaan air laut (berupa dataran rendah), tetapi dapat juga terdapat di dataran tinggi dengan ketinggian lebih daripada 2000 meter di atas permukaan air laut dengan bentuk wilayah datar sampai bergelombang dengan suhu rendah. Pada daerah cekungan dengan genangan air terdapat longgokan bahan organik. Hal ini disebabkan suasana yang langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih lambat daripada proses tertimbunnya. Dengan demikian terbentuklah gambut. Karena adanya kelebihan lengas atau penggenangan air di daerah cekungan dengan pengatusan buruk maka bahan organik yang terlonggok akan lambat terurai sehingga terbentuklah gambut tebal. Pelapukan yang berlangsung sebagian besar dilaksanakan oleh agensia anaerob, ganggang dan jasad renik lainnya (Budianta, 2003).

Tentang pembentukan gambut di Indonesia, pada zaman pleistosen permukaan laut turun kurang lebih 60 meter di bawah permukaan air laut sekarang. Pada waktu itu bagian timur Sumatra, Malaysia, bagian barat dan selatan Kalimantan di hubungkan oleh selat Sunda, sedangkan bagian selatan Irian Jaya menempati sebagian dari selat Sahul. Kemudian selama zaman holosin daerah-daerah ini secara berangsur-angsur digenangi air laut. Naiknya permukaan air laut menyebabkan naik pula permukaan air tanah di daerah pedalaman, maka lokasi dimana air laut tidak dapat lagi ke daratan akan terbentuk rawa. Pada cekungan-cekungan terjadi proses longgokan bahan organik yang berasal dari vegetasi rawa sehingga terbentuklah gambut. Pada cekungan yang dalam secara berangsur-angsur terjadi penimbunan bahan organik sehingga akan terbentuk gambut tebal (Budianta, 2003).

Longgokan bahan organik tersebut tidak homogin melainkan berlapis-lapis. Watak gambut tergantung kepada macam vegetasi, iklim dan keadaan lingkungan yang mendukungnya. Setiap generasi tumbuhan yang tumbuh menyusul tumbuhan sebelumnya akan meninggalkan lapisan demi lapisan sisa bahan organik yang diendapkan dalam paya dan rawa. Susunan urutan lapisan itu berubah jika ada tumbuhan air disusul buluh dan rumput tertentu kemudian semak-semak rawa dan akhirnya pepohonan hutan dengan tumbuhan alasnya yang menempati bagian di atas lapisan gambut. Berdasarkan masyarakat tumbuhnya, gambut dibedakan kedalam tiga jenis, yaitu gambut paya, gambut rawa dan gambut bog, sedangkan berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi 4 yaitu gambut seratan (gambut mentah yang paling sedikit terombak atau fibrik), gambut lembaran (folik) yang terdiri atas dedaunan dan ranting-ranting yang terombak sebagian (merupakan busukan atau seresah), gambut hemik (terombak sedang), dan gambut saprik (terombak paling matang). FAO-UNESCO (1974), memilahkan gambut menjadi tiga bagian yaitu gambut subur, gambut tidak subur dan gambut permafrost dan berdasarkan faktor pembentuknya, gambut dipilahkan menjadi gambut ombrogen, gambut topogen dan gambut pegunungan (Darmawijaya, 1980).

Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut di Indonesia dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (1) gambut ombrogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhnya itu sendiri (2) gambut topogenous, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut. Daerah gambut topogenous lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan dengan gambut ombrogenous, karena gambut topogenous mengandung relatif lebih banyak unsur hara.

1.3. Karakteristik Gambut

Gambut mempunyai karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh jenis tanah yang lain. Sifat fisik yang dimiliki adalah mampu menyerap air yang sangat tinggi. Sebaliknya apabila dalam kondisi yang kering (kering berkelanjutan), gambut sangat ringan dengan berat volume yang sangat rendah (0,1-0,2 g/cm3) dan mempunyai sifat hidrofobik (sulit) menyerap air dan akan mengambang apabila terkena air. Pada kondisi demikian gambut dapat mengalami amblesan (subsidensi) dan mudah terbakar. Sedangkan sifat kimianya, gambut sangat tergantung pada jenis tumbuhan yang membentuk gambut, keadaan tanah dasarnya, pengaruh luar (seperti endapan sungai/banjir, endapan vulkanis) dan sebagainya. Ada dua kriteria utama yang mempengaruhi sifat kimia gambut yaitu (1) sifat dan asal tanaman yang terombak dan (2) tingkat dekomposisi. Secara umum gambut beraksi masam. Hal ini disebabkan oleh keluarnya asam-asam organik (humat dan fulvat). Hasil penelitian Suhardjo dan Adhi (1976; Pangudiatno (1974 dalam Budianta, 2003) gambut Riau mempunyai pH berkisar antara 3,5-4,7 dan Kalimantan mempunyai pH 3,3. Sedangkan kandungan N, C-total masing-masing berkisar antara 1,13-1,98% dan 49,8-54,11% (Riau), 1,44-1,80% dan 74,83-83,84% (Kalimantan). Selanjutnya kandungan P, K, Ca dan Mg sangat rendah.

1.4. Pemanfaatan Gambut

Akhir-akhir ini daerah gambut mendapat perhatian yang cukup besar, baik dari segi luasan lahan yang dapat digunakan untuk lahan pertanian, pemukiman, perkembangan kehutanan dan pemanfaatan untuk sumberdaya energi maupun dari segi fungsi lingkungan hidup sebagai penyangga kehidupan yang beraneka ragam dan menjaga perubahan iklim global. Untuk mengembangkan pertanian diperlukan banyak lahan yang harus dibuka dan diubah menjadi lahan pertanian, karena air merupakan faktor terpenting untuk perkembangan pertanian, maka perhatian terhadap lahan dataran rendah yang mengandung air, seperti lahan pasang surut, rawa dan gambut mendapat perhatian yang besar. Melihat keadaan lingkungan di masa depan yang amat terbatas kemampunanya untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa, maka plasma nutfah yang tahan dengan berbagai lingkungan yang kurang menguntungkan di daerah gambut merupakan aset nasional yang penting bagi pembangunan masa depan.

Tanah gambut telah banyak mengalami perubahan dengan cara direklamasi untuk dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan khususnya lahan-lahan gambut yang terdapat di Malaysia dan Indonesia. Seiring dengan semakin menurunnya lahan-lahan yang baik untuk kegiatan budidaya pertanian, maka tekanan terhadap lahan gambut menjadi tidak bisa terelakkan lagi.

Lahan-lahan gambut yang dikonversi menjadi kawasan pertanian di Indonesia, memberikan catatan-catatan memprihatinkan. Tanah-tanah itu umumnya tidak mempunyai kandungan gizi (nutrisi) yang baik, dan sering kembali menjadi lahan-lahan gundul setelah dikonversi. Walaupun perusahaan-perusahaan pulp di Riau telah sukses menanam akasia di lahan rawa-rawa gambut, tidak ada informasi yang bisa dipercaya tentang kelanjutan jangka panjang usaha mereka (Barr, 2001 dalam Miettinen, 2004). Bagaimanapun, terdapat bukti-bukti tak terbantah bahwa perkebunan-perkebunan rawa gambut membutuhkan investasi besar, tingkat produksi yang rendah, resiko kebakaran yang sangat tinggi, dan berbagai macam penyakit dan kematian tanaman yang disebabkan lapisan atas tanah, daripada perkebunan di tanah-tanah bermineral (Cossalter 2004 dalam Miettinen, 2004). Kemungkinan-kemungkinannya adalah hasil-hasil perkebunan akan merosot dari waktu ke waktu selain juga akan membuat tanah menjadi gundul – masa depan perkebunan jenis ini, sungguh, serba tidak pasti.

Di daerah tropis, penggunaan lahan gambut dimulai pada tahun 1900-an. Penebangan hutan, pembakaran dan pengatusan lahan dilakukan untuk tujuan pertanian dan pemukiman. Untuk tujuan perdagangan, 150.000 km2 per tahun dari lahan gambut dibuka dan diambil hasil kayunya, sedangkan di beberapa negara gambut digunakan sebagai energi sumber panas (Anonim, 2002). Hal ini tentu saja akan memberikan dampak yang sangat kuat bagi penurunan stabilitas gambut.

Di Asia Tenggara terdapat 70% dari total gambut tropik dunia terutama di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia lahan gambut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan masih mungkin untuk dimanfaatkan seluas 5,6 juta hektar.


II. MASALAH PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT

2.1. Pengembangan Untuk Perkebunan Kelapa sawit dan Tanaman Musiman

Lee (2004) mengemukakan bahwa masalah umum yang dihadapi dalam pengembangan perkebunan dan pertanian lainnya di lahan gambut adalah :

  1. Tahap Persiapan Lahan

Ø Tidak punya aksesibilitas yang baik untuk transportasi alat-alat berat

Ø Batang-batang pohon menghalangi penanaman secara mekanis

Ø Membutuhkan Kapur yang banyak (kondisi tanah sangat asam)

Ø Membutuhkan input pemupukan yang tinggi (kekurangan nutrisi)

Ø Dasarnya adalah tanah sulfat yang masam

Ø Manajemen hidrologinya yang komplek

  1. Tahap Pembangunan Kebun Sawit

Ø Mid-Crown Chlorosis (defisiensi tembaga)

Ø Gambut kuning/peat yellow (kekurangan seng)

Ø Pertumbuhan sawit yang lebih lambat mencapai tua (mature) dibandingkan dengan sawit yang ditanam di tanah-tanah mineral, selain itu produksinya juga akan terus menerus mengalami penurunan sampai pada tingkat yang tidak ekonomis

Ø Sawit juga akan condong (leaning).

  1. Ancaman terhadap pengembangan gambut

Ø Pengeringan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan untuk penanaman sawit pada lahan gambut

Ø Akan mempengaruhi regim hidrologi dari kubah gambut (peat dome) dan ekosistemnya

Ø Drainase akan menurunkan air tanah (water table), sehingga tanah gambut akan menjadi kering dan akan mudah terbakar.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jamaludin (2002) yang mengemukakan bahwa hambatan utama dalam pengembangan gambut tropis seperti di Serawak Malaysia dapat disarikan sebagai berikut :

Ø Pemborosan sumberdaya alam gambut sebagai akibat drainase. Dalam hal ini termasuk subsiden selama penyusutan, pemadatan, dekomposisi, leaching, pengeringan yang tak dapat balik/irreversible drying serta kehilangan materi gambut selama proses reklamasi.

Ø Banjir dan bahaya air permukaan yang dangkal oleh karena elevasinya yang rendah, situasi topografi dan hujan yang lebat.

Ø Kapasitas-bawa tanah (soil bearing capacity) yang rendah (hanya 7,7 KN/m2 di permukaan) dan mempunyai trafficability rendah oleh karena keberadaan dari kayu-kayu yang tidak terdekomposisi atau terdekomposisi sebagaian di dalam tanah, sehingga akan menghambat proses pertanian dengan cara mekanisasi.

Ø Mempunyai kesuburan yang rendah, kondisi kemasaman yang tinggi (pH-nya rendah) dan juga masalah sisa-sisa akar yang tertinggal dari tanaman-tanaman keras musiman.

Di Serawak, satu tubuh individu gambut berkisar antara beberapa sampai 100.000 hektar dan pada umumnya mempunyai permukaan yang berbentuk kubah/gundukan (dome-shape). Gambut pada umumnya diklasifikasikan sebagai gambut ombrogen atau gambut penerima hujan dimana gambut tipe ini akan mempunyai kandungan nutrisi yang rendah. Dikarenakan oleh geomorfologi pesisir dan endapan alluvial sering kali gambut ini bentuknya akan memanjang dan irregular/tidak teratur daripada yang berbentuk membulat. Kedalaman gambut akan lebih rendah di daerah dekat pantai/pesisir dan akan semakin meningkat kearah dalam, dan pada lokasi-lokasi tertentu dapat mencapai 20 meter. Air akan memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan dan pemeliharaan gambut tropis (Huat, 2003).

Lebih lanjut (Huat, 2003) mengemukakan bahwa keseimbangan antara hujan dan evapotranspirasi adalah hal yang kritis bagi kelestarian gambut. Hujan dan topografi permukaan akan mengatur karakteristik dari keseluruhan hidrologi dari lahan gambut/peat land. Lahan gambut/peatland juga sering dikenal dengan istilah lahan basah/wetland dikarenakan oleh kondisi air tanahnya (water table) yang mendekati atau berada diatas dari permukaan gambut sepanjang tahun dan berfluktuasi seiring dengan intensitas dan frekuensi curah hujan. Dari kacamata sifat-sifat fisikanya, gambut di wilayah tropis pada umumnya adalah non homogen bila dibandingkan dengan gambut dari wilayah temperate. Sifat-sifat fisikanya tergantung dari banyak faktor seperti kandungan kayu, derajat pembusukan/humification, bulk density, porositas, sifat menahan air/water holding properties, dan hidrologinya (Huat, 2003).

Jinu (2002) mengemukakan bahwa persoalan di tanah gambut yang rata-rata kedalaman 20 meter ke dalam bumi sangat sulit ditumbuhi komoditas keras. Di samping sulit hidup karena kadar tanah sangat asam, juga tanah lemah. Ditiup angin berkecepatan 15 km per jam saja, dipastikan banyak tumbang. Pengalaman pengusaha perkebunan yang beroperasi di Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur, mereka mengeluhkan areal tanah gambut. Sawitnya sulit hidup dan sangat rawan tumbang. Bahkan ada perusahaan perkebunan yang sampai tiga kali merehab kebunnya karena tumbang.

2.2. Mengapa Lahan Gambut Yang Biasanya Tahan-Api Bisa Terbakar?

Lahan-lahan gambut yang digenangi air tidak terbakar secara alami, kecuali pada tahun-tahun yang luar biasa keringnya. Hal ini ditunjukkan secara tragis selama terjadinya perang Vietnam, dimana hutan-hutan rawa gambut disemprot oleh bahan-bahan kimia dan dibakar oleh bom napalm. Kebakaran-kebakaran yang terjadi kemudian di’tahan’ oleh rawa-rawa gambut alami yang basah (Burning Issues, 2003).

Hal yang sama juga dikemukakan oleh ahli lain yang mengatakan bahwa hutan-hutan rawa gambut dalam kondisinya yang alamiyah tidak akan mudah terbakar. Keteledoran ulah manusia, pembuatan kanal-kanal dan selektif logging akan membuat hutan rawa gambut menjadi terbuka, tanah dan tetumbuhan mengering, sehingga akan memudahkan terjadinya kebakaran hutan (Bechteler & Siegert 2004 dalam Miettinen, 2004). Seandainyapun lahan-lahan itu dikeringkan dengan cara semestinya dan lalu tumbuhannya diganti dengan akasia sebagaimana direncanakan, resiko bagi malapetaka kebakaran hutan malah bisa lebih tinggi lagi. Sekali terbakar, bagai api dalam sekam, timbunan tumpukan gambut akan terus terbakar selama bertahun-tahun. Pemulihan tanaman hutan setelah kebakaran akan memakan waktu lama, dan akan sering terhambat bila kebakaran terulang. Perkebunan-perkebunan yang direncanakan dalam konsesi dimaksud, dalam cakupan sangat luas, akan memecah-mecah dan mengeringkan area rawa gambut di Riau daratan dan akan memperluas akses ke hutan-hutan lain melewati kawasan konsesi. Dan karenanya pula akan semakin mempertinggi resiko kebakaran bagi hutan-hutan di luar area konsesi tersebut. Posisi pesisir rawa-rawa gambut di Riau dan konsesi yang diajukan berada pas berhadap-hadapan dengan negara-kota Singapura yang berpenduduk padat dan daratan semenanjung Malaysia, yang penduduk-penduduknya selalu menderita karena kiriman asap dari kebakaran hutan di Indonesia selama tahun-tahun belakangan ini. Bencana kebakaran hutan di lahan-lahan gambut Riau akan membawa dampak yang sangat berat ke wilayah-wilayah lain di luar Indonesia.

Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha pertanian skala besar, namun semakin banyak kawasan-kawasan gambut yang dibalak dan dikeringkan. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ini, di kawasan-kawasan tersebut digali kanal-kanal untuk mengeringkannya, menyediakan akses untuk pembalakan, dan untuk meyiapkan lahan bagi usaha-usaha pertanian. Langkah pertama ini bermasalah karena mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan menghilangkan air di permukaan tanah. Irigasi/pengairan di lahan-lahan pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air tanah. Setelah kering, maka gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya yang seperti spon dan dengan demikian juga kemampuannya untuk mengatur keluar-masuknya air. Lahan-lahan gambut yang kering secara tidak alami sangat mudah menjadi kering. Kebakaran, baik yang disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan kerusakan dan kerugian yang proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat gangguan yang terjadi (Burning Issues, 2003).

Saharjo (2003) mengemukakan bahwa karena gambut merupakan bahan bakar yang terdapat di bawah permukaan, maka gambut juga merupakan salah satu bahan bakar yang menyusun bahan bakar bawah. Bahan bakar bawah memiliki kadar air yang tinggi daripada bahan bakar permukaan (serasah, ranting, log) dan bahan bakar tajuk (tajuk pohon, daun, lumut, dan efifit). Bila terjadi kebakaran pada bahan bakar bawah ini, yang biasa dikenal dengan istilah kebakaran bawah (ground fire), maka kebakarannya akan terjadi secara perlahan-lahan karena tidak dipengaruhi angin (berada di bawah permukaan) sehingga pola penyebarannya tidak menentu serta sukar pula untuk menentukan di mana kebakaran itu sesungguhnya terjadi karena yang tampak adalah hanya asap berwarna putih yang terdapat di atas permukaan. Pola pembakaran ini biasa dikenal dengan istilah smoldering combustion, pembakaran yang tanpa dibantu oleh oksigen (angin).

Tentu saja kebakaran bawah ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi berawal dari kebakaran yang biasanya terjadi di permukaan. Penetrasi panas akibat dari kebakaran yang terjadi di permukaan akan dialirkan ke bawah permukaan melalui pori-pori gambut, log tertimbun yang terbakar, juga dapat melalui akar semak belukar yang bagian atasnya terbakar. Penetrasi panas bisa dialirkan ke bawah permukaan bila kadar air gambut cukup rendah sehingga memungkinkan combustion terjadi, namun bila kadar airnya tinggi maka penetrasi panas akan terhambat (Saharjo, 2003)..

Kebakaran permukaan akan berubah menjadi kebakaran bawah bila tingkat permukaan air di bawah permukaan semakin turun akibat berkurangnya cadangan air yang terdapat di gambut. Sehingga bisa dimengerti pada beberapa masyarakat tradisional, mereka enggan membakar di lahan gambut ketika musim kemarau tiba sebab ketebalan gambut yang terbakar akan makin besar dibandingkan dengan kalau mereka bakar pada saat masih turun hujan (namun tidak lebat). Adapun bagi perusahaan perkebunan (sawit) tinggi muka air dapat diatur melalui kanal yang mereka buat (Saharjo, 2003).


III. HIDROLOGI DI LAHAN GAMBUT

Status hidrologi di lahan gambut sangatlah kompleks, dan pada umumnya studi tentang hidrologi adalah berbasiskan pada Darah Tangkapan Air (DTA) atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Dan para ahli hidrologi yang sudah banyak melakukan studi di lahan gambut menduga kuat adanya suatu sistem hidrologi tersendiri dilahan gambut yang meskipun saat ini belum banyak dipetakan batas-batasnya sebagaimana yang sudah dilakukan di Daerah Aliran Sungai Maupun Daerah Tangkapan Air suatu waduk, danau atau situ.

Untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana sistem hidrologi di lahan gambut berikut dampak dari aktifitas-aktifitas yang mengganggu sistem hidrologi tersebut dapat dilihat pada ilustrai gambar berikut :



Gambar 1. Struktur Hipothetis dari Kubah Gambut /Peat Dome (Lee,2004)

Gambar 1 menunjukkan bahwa pada kondisi alamiah yang tidak terganggu, maka aliran air di Peat dome akan berada pada kondisi yang setimbang (Equilibrium). Kondisi ini memungkinkan sistem hidrologi lahan gambut untuk dapat mempertahankan kondisi kadar airnya pada tingkatan dimana api sulit untuk bisa membakarnya. Kadar air gambut pada musim kemarau yang cukup panjang pun sebenarnya masih bisa dipertahankan, sebab kehilangan air karena evapotranspirasi dari lahan gambut tidak secepat laju kehilangan air akibat drainase. Oleh karenanya kebakaran yang ada sekarang lebih banyak diakibatkan oleh karena perubahan struktur gambut dan terganggunya sistem hidrologi.

Adapun Pengaruh dari pembuatan drainase dan penanaman kelapa sawit terhadap sistem hidrologi gambut dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa ketika tejadi kanalisasi di bagian bawah kubah maka air akan tertarik keluar dari sistem gambut, gambut akan mengalami subsidence, selain itu juga akan terganggunya regim hidrologi. Sedangkan jika pembuatan kanal dilakukan di bagian lereng dome maka dampak negatifnya akan lebih buruk yaitu air akan dengan cepat keluar dari sistem gambut, dome akan mengalami keruntuhan/collapse, dan hilangnya fungsi gambut sebagai pengatur tata air. Oleh karena itu pengeringan lahan gambut dengan pembuatan kanal maupun pembuatan sekat bakar dengan pembuatan parit-parit akan berisiko menimbulkan kebakaran hutan manakala pengaturan airnya tidak dilakukan dengan baik.

Pembuatan parit dan kanal pada dasarnya merupakan manajemen yang tepat agar lahan gambut bisa dimanfaatkan untuk budidaya pertanian dan perkebunan. Namun skala usaha yang bisa diusahakan seharusnya tidak boleh terlalu luas dan lahan gambutnya masih terpengaruh oleh pasang surut air sungai, sehingga pada kondisi tertentu ketika air sungai pasang air bisa dibendung untuk bisa dimanfaatkan pada saat musim kemarau, selain itu tingkat kesuburannya juga relatif lebih baik dibandingkan gambut di daerah pedalaman sebagai akibat adanya suplai hara dari endapan sungai. Oleh karena itu bisa dimengerti kenapa pembuatan kanal-kanal di lahan gambut Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta hektar di Kalimantan Tengah mengalami kegagalan dan arealnya sering terjadi kebakaran dikarenakan manajemen hidrologinya yang tidak tepat.


Gambar 2. Pengaruh Drainase Terhadap Lahan gambut (a) pembuatan drainase dan penanaman dilakukan di bagian babawah dome, (b) Penananan dan pembuatan drainasi dilakukan di bagain atas dome (Lee,2004).

Sedangkan gambaran bagaimana drainase yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya kebakaran hutan di lahan gambut, dapat dilihat pada ilustrasi seperti pada Gambar 3.


Gambar 3. Skenario yang umum terjadi dimana drainase yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya kebakaran di lahan gambut (Lee,2004).

Terlihat bahwa aspek utama yang menyebabkan kebakaran hutan adalah keluarnya air dari suatu sistem gambut, kemudian terjadi pengeringan dan penurunan kadar air yang pada akhirnya akan memudahkan gambut untuk terbakar.

Selain itu kanal-kanal yang digali memberikan akses terhadap kawasan-kawasan gambut yang dulu tidak tersentuh. Meningkatnya akses manusia memungkinkan terjadinya kebakaran dan kegiatan pembalakan, yang akan mengganggu keseimbangan alami dari ekosistem rawa gambut. Jinu (2002) mengemukakan contoh tentang pengaruh dari pembukaan lahan gambut sejuta hektar dan pembuatan kanal-kanal di lahan tersebut, yaitu Sungai Barito (sepanjang 900 km), Sungai Kapuas (600 km), dan Kahayan (600 km), mulai kehilangan fungsi ekonomisnya. Masalahnya, permukaan air ketiga sungai tersebut berfluktuasi hanya dengan hitungan jam atau hari. Sungai Kahayan, misalnya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, belum pernah terjadi air kering hanya dalam hitungan hari. Biasanya, kalau terjadi kekeringan ada proses dalam beberapa minggu, tetapi sekarang hanya dalam dua hari, air Sungai Kahayan seperti hilang tersedot. Sebaliknya, air Sungai Kahayan bisa meluap dalam hitungan jam atau hari sehingga membuat porak-poranda warga yang bermukim di tepian sungai tersebut. Tidak ramahnya Sungai Kahayan tersebut sangat boleh jadi akibat pembukaan lahan gambut sejuta hektar di samping eksploitasi hutan secara besar-besaran di bagian hulu sungai. Perubahan itu dirasakan masyarakat setelah mega proyek itu dibuka mulai tahun 1997. Persoalan yang terjadi di Sungai Kahayan mewakili persoalan yang terjadi di Sungai Barito dan Kapuas.

Dampak lingkungan lainnya, di kawasan PLG itu sendiri sering terjadi banjir besar. Sawah petani yang siap panen, mendadak berubah jadi danau karena banjir. Biasanya, banjir datang sekali dalam setahun, terutama musim hujan. Sekarang kasus bencana banjir bisa terjadi sampai lima kali dalam setahun, seperti yang dialami pada tahun 2001 (Jinu, 2002).




IV. ASPEK MANAJEMEN HIDROLOGI DALAM PENCEGAHAN DAN PEMADAMAN KEBAKARAN HUTAN

4.1. Pemadaman Kebakaran di Lahan Gambut

Pemadaman kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan dapat menyebabkan kerusakan ekologi dalam jangka panjang. Gambut terbakar diatas dan dibawah permukaan, dan karena itu sulit untuk dipadamkan. Metode-metode pemadaman kebakaran yang mungkin diterapkan juga mahal. Untuk mengendalikan kebakaran di lahan gambut secara efektif, orang harus menggali gambut yang terbakar atau menggenanginya dengan air. Akan tetapi, dalam musim-musim kering (yaitu ketika kebakaran terjadi), air jarang tersedia dan karena itu menggenangi lahan gambut bukanlah suatu opsi yang dapat dilakukan.

Untuk mengatasi kebakaran lahan dan bencana asap tebal yang setiap tahun terjadi di Kalimantan Tengah, kanal-kanal pada Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kabupaten Kuala Kapuas dibendung. Pembukaan kanal-kanal pada masa Orde Baru yang lebarnya 10-30 meter dan panjangnya telah mencapai 4.500 kilometer tersebut, diyakini telah menyebabkan lahan gambut terkelupas, cadangan air pada lahan gambut terkuras dan akhirnya menyebabkan kebakaran. Bendungan atau tabat dalam bahasa Dayak, dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kayu dan ribuan karung tanah. Meski demikian, penabatan yang melibatkan masyarakat lokal ini berjalan efektif karena bendungan atau tabat mampu menahan terkurasnya cadangan air pada lahan gambut agar tidak mengalir ke Sungai Mentangai dan terus ke Sungai Kapuas. Berkat bendung tradisional ini, pada kanal-kanal terbentuk semacam kolam yang panjangnya bisa mencapai enam kilometer dengan kedalaman sekitar satu sampai empat meter itu berfungsi sebagai sekat bakar agar api tidak menjalar dari satu areal ke areal lain (Kompas-Online, 2004).

Beberapa teknik yang lain untuk pemadaman kebakaran di kawasan gambut memerlukan adanya penggalian kanal tambahan (sebagai akses ke lokasi kebakaran). Kadang-kadang, air asin juga dipompa masuk untuk menggenangi kawasan tersebut. Kedua teknik tersebut tampaknya menyebabkan degradasi lebih lanjut dari kawasan gambut. Apabila api di lahan gambut tidak dapat dipadamkan, api tersebut dapat tetap menyala dibawah permukaan dalam waktu yang lama (bahkan tahunan) dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca menjadi lebih kering lagi. Api yang menyala dibawah permukaan merusak sistem perakaran pohon. Pohon-pohon tersebut akan menjadi tidak stabil dan kemudian tumbang atau mati. Hal ini akan menghasilkan sejumlah besar pohon mati atau sisa tanaman, yang akan menjadi bahan bakar yang potensial bagi kebakaran berikutnya.

Oleh karena itu, pengaturan air di lahan gambut harus bisa benar-benar dilakukan dan dijaga keseimbangannya. Kelalaian dalam pengaturan kadar air akan dapat menimbulkan bencana yang sangat merugikan baik berupa kebakaran gambut maupun banjir. Banjir bisa terjadi sebagai akibat terbuka dan terbakarnya lahan gambut sehingga siklus hidrologi di lahan gambut menjadi terganggu dimana pada saat musim hujan air tidak bisa disimpan karena ketebalan gambut yang semakin tipis maupun telah hilang sedangkan pada musim kemarau tidak banyak cadangan air tanah yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kondisi gambut supaya tahan terhadap kebakaran.

4.2. Menjadikan lahan gambut tahan kebakaran

Secara ekologi, pembakaran rawa-gambut mempercepat rusaknya lingkungan yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan pencegahan banjir). Dalam hal ini, pemilahan antara sebab dan akibat harus dilakukan secara hati-hati. Sebab-sebab dasar dari reduksi keanekaragaman jenis hayati adalah salah pengelolaan dari kawasan-kawasan rawa-gambut serta perencanaan tata-guna lahan yang memungkinkan terjadinya pengkonversian kawasan-kawasan tersebut. Kebakaran mengikuti dan memperbesar dampak-dampak negatif dari drainase (pengeringan air) dan mempercepat degradasi kawasan-kawasan rawa-gambut.

Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan cara mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya dan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan rawa-gambut harus dicegah. Apabila gambut menjadi kering secara berlebihan, mereka akan kehilangan secara permanen sifat-sifat alaminya yang menyerupai spon dan tidak dapat direhabilitasi kembali. Lahan-lahan gambut yang terdegradasi ini harus dikelola untuk mencegah mereka menjadi padang rumput atau semak-belukar yang mudah terbakar secara teratur dan karenanya menjadi sumber kebakaran untuk daerah-daerah sekitarnya. Penggunaan api di kawasan gambut oleh masyarakat lokal hanya dapat dicegah apabila sumber penghidupan alternatif dapat disediakan. Saat ini masih belum jelas apa bentuk sumber penghidupan alternatif tersebut (Burning Issues, 2003).

Beberapa negara telah menyadari dan memperhatikan berbagai komplikasi sehubungan dengan kebakaran di lahan gambut. Mereka secara khusus telah melarang segala macam bentuk penggunaan api di kawasan-kawasan gambut, namun anehnya tetap mengijinkan pengkonversian dan pegembangan kawasan-kawasan tersebut. Malaysia dan Indonesia adalah negara-negara dimana hukum yang berlaku melarang sepenuhnya penggunaan api di kawasan-kawasan gambut, namun kegiatan-kegiatan pengeringan/drainasi dan pengembangan masih diijinkan. Oleh karena adanya kontradiksi kepentingan tersebut jalan yang terbaik adalah dengan Win-Win Solution antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan lingkungan. Dari aspek hidrologi hal ini bisa dilakukan dengan manajemen hidrologi yang baik.


4.3. Praktek-Praktek Pengelolaan yang Lestari Melalui Manajemen Hidrologi

Ambak dan Melling (2000) mengemukakan bahwa sebenarnya istilah pertanian yang lestari (sustainable agriculture) kemungkinan tidak akan bisa diterapkan untuk kegiatan pertanian di lahan gambut oleh karena lahan akan menyusut dan mengalami subsiden pada saat kegiatan pertanian dikembangkan. Namun demikian, sebaiknya di bangun suatu cara untuk memperpanjang umur pakai dari gambut dengan meminimalkan laju subsiden yang dapat dilakukan dengan mengadopsi strategi yang tepat melalui manajemen air, tanah dan tanaman.

Menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengetahui kondisi dari air tanah (groundwater) dan juga air permukaan, bentuk dan ksaran fluktuasinya, pengaruh dari saluran terhadap daerah di sekitarnya di lahan gambut. Kondisi hidrologi akan memainkan peranan penting dalam pergerakan banyak substansi, kelestarian dari gambut itu sendiri dan produktifitas pertanian (Inoue, 2000).

Berkaitan dengan manajemen hidrologi di kawasan gambut untuk kegiatan pertanian, maka berikut adalah beberapa strategi tentang manajemen air yang bisa dilakukan (Ambak and Melling, 2000) :

Manajemen air adalah faktor yang paling penting dan kritis bagi pertumbuhan dan produksi tanaman di lahan gambut. Hal ini tidak hanya sebatas pada tinggi rendahnya permukaan air tanah namun juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap manajemen tanaman, subsiden gambut dan irreversible drying dari gambut tersebut. Manajemen air yang tidak efisien pada saat ketersediaan air sangat terbatas atau pada saat air berlimpah adalah salah satu dari faktor utama yang membatasi hasil pertanian. Oleh karena itu sistem manajemen air yang baik memerlukan sistem drainase yang berfungsi dengan baik.

1. Drainase dan Drainability

Drainase adalah merupakan prasyarat untuk berbagai penggunaan bagi kegiatan pertanian di lahan gambut. Tanpa drainase yang mapan, maka penanaman dengan tanaman yang biasa di tanam di lahan kering akan sulit dilakukan, sebagaimana gambut yang terdapat di Malaysia yang terbentuk di daerah dataran rendah dengan kondisi permukaan air tanah normalnya lebih tinggi dari permukaan tanah serta berfluktuasi tergantung pada hujan.

Drainase merupakan aspek yang penting dari manajemen air untuk pengembangan kegiatan pertanian di lahan gambut. Jaringan drainase untuk pertanian di lahan gambut harus bisa lebih rendah dari muka air tanah yang juga bisa dipergunakan untuk mengalirkan air pada saat hujan lebat yang biasanya menimbulkan banjir/genangan. Hal ini penting untuk menjaga agar tanaman pertanian tidak rusak, karena sebagian besar dari tanaman-tanaman tersebut tidak bisa terlalu lama tergenang air. Jaringan drainase juga harus bisa dipergunakan untuk mengeringkan air-air genangan dengan waktu yang cepat, sebab keterlabatan pengeringan akan menyebabkan produksi pertanian menurun atau tanaman mengalami sekarat.

Sistem drainase terdiri dari jaringan yang menghubungkan antara berbagai petak, saluran pengumpul dan saluran utama (main drains). Intensitasnya tergantung pada kondisi alamiah tanah dan hujan. Sistem drainase harus didesain untuk mengatasi kondisi hujan lebat yang tidak umum yaitu hujan yang bisa mencapai 4000-5000 mm/tahun untuk meminimalisasi efek dari banjir sesaat. Hujan yang demikian tidak tersebar secara merata sepanjang tahun. Karena terdapat musim hujan dan musim kering/kemarau, oleh karena itu sistem drainase juga harus didesain untuk bisa mengatasi hal ini.

Sistem drainase juga harus terdiri dari saluran-saluran yang dangkal dan juga dengan jarak yang lebih sempit daripada saluran yang dalam dan jaraknya lebar (Ritzema et al, 1988 dalam Ambak dan Melling, 2000), sehingga akan lebih mudah untuk membangun bangunan pengatur tinggi muka air yang melintas saluran. Untuk mengatur tinggi muka air dan menjaga masuknya air pasang dari sungai, yang dibeberapa tempat adalah berupa air payau, maka pintu air juga harus dibuat di ujung dari saluran utama menuju ke sungai.

Penghilangan lumpur juga perlu dilakukan. Gulma juga merupakan problem utama. Jika gulma-gulma tersebut tidak diperiksa, maka dapat menghambat sistem drainase, yang tentunya akan mempengaruhi kapasitas maupun laju aliran. Oleh karena itu pembabatan rumput diperlukan untuk menjaga saluran tetap dalam kondisi baik.

Konsekuensi dari drainase adalah mengeluarkan air dari hutan rawa gambut yang mana air ini merupakan dasar dari keberadaannya. Drainase akan memicu suatu proses yang tidak bisa dielakkan yaitu irreversible subsidence, yang mana hal ini akan bertentangan dan menjadi penghambat bagi kegiatan pengembangan dan penggunaan lahan gambut untuk pertanian (Andriesse, 1988 dalam Ambak and Melling, 2000). Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk menghindari kondisi gambut yang terlampau kering. Pengeringan yang berlebihan akan mengakibatkan subsiden dan banjir, menurunkan water holding capacity, meningkatkan keberadaan tanah-tanah sulfat masam, kebakaran hutan, irreversible drying, serangan hama dan penyakit, ketidakseimbangan nutrisi dan penurunan hasil tanaman. Fenomena ini mempunyai dampak terhadap penggunaan yang lestari dari tanah gambut untuk pertanian dan secara nyata akan memperpendek nilai ekononis dari lahan.

Dalam perencanaan pembuatan drainase di lahan gambut, penting juga untuk mempertimbangkan potensi drainability dari suatu areal tertentu yang dapat lestari. Dalam konteks ini, drainability yang lestari mengacu pada drainase gravitasi, yang mana hanya akan mungkin dan ekonomis jika lapisan tanah mineral subsoil-nya berada diatas rata-rata tinggi muka air dari badan air terdekat dimana air drainase dilewatkan (discharge). Hal ini disebakan oleh karena permukaan tanah masih akan berada diatas ketinggian tersebut meskipun seluruh gambut hilang terdekomposisi. Oleh karena itu drainase dengan gravitasi (gravity drainage) dapat lestari hampir untuk jangka waktu yang tidak tertentu. Namun demikian hal ini bisa menjadi sulit dan tidak ekonomis atau bahkan menjadi tidak mungkin untuk dikembangkan jika gambutnya berada dibawah rata-rata tinggi muka air. Graviy drainage juga akan menjadi sulit manakala lokasinya jauh dari badan-badan air dikarenakan oleh adanya tambahan hydraulic head sekitar 20 cm per kilometer. Jika hal ini terjadi, maka areal tersebut akan tergenang dan pengembangan areal pertanian di tempat tersebut akan gagal kecuali pengukuran dan perhitungan yang mahal terhadap kemungkinan bunding dan pemompaan dilakukan.

2. Water-Table Control

Jika drainase merupakan hal penting, maka perawatan agar tinggi air tanah tetap konstan dengan kisaran yang optimal untuk produksi tanaman juga penting. Tinggi air tanah harus dijaga supaya setinggi mungkin dengan menggunakan struktur pengatur tinggi air yang memadai. Sejumlah weirs dibuat melintang saluran penampung (collection drain) di posisi-posisi yang strategis untuk menjaga kebutuhan tinggi air dan juga dapat mengatur tinggi air lebih tinggi selama periode hujan yang rendah yaitu dalam rangka menjaga supaya tidak terjadi over drainage. Sebagai contoh dari sistem manajemen air, didasarkan pada prinsip desain yang sama dapat ditemukan di United Plantation di Perak (Singh et al., 1986 dalam Ambak and Melling, 2000). Di kebun kelapa sawit mereka yang di tanam di lahan gambut, mereka membangun sejumlah bangunan di saluran penampung untuk mengontrol tinggi air dalam blok seluas 50 Ha. Di dalam blok, sistem drainase tersier yang intensif, dengan jarak 30 meter, dijaga kedalaman air tanahnya pada 0,6 sampai 0,9 dibawah permukaan tanah.

Kebutuhan akan tinggi muka air berbeda tergantung jenis tanaman yang dibudidayakan. Tinggi muka air yang optimal bervariasi seiring dengan kedalaman dari zona perakaran tanaman. Selain itu juga mempunyai kebutuhan yang bervariasi secara temporal tergantung pada fase pertumbuhan tanaman dan juga aktifitas pengolahan tanah seperti penugalan dan pemanenan. Idealnya, muka air sebaiknya didesain supaya berada sekitar 20 cm dibawah zona perakaran tanaman setelah mempertimbangkan laju dari capillary rise (perambatan air kapiler keatas) dan Capillary fringe (perambatan air kapiler ke samping/pinggir) di lahan gambut tersebut. Beberapa rata-rata muka air optimum untuk keragaan terbaik dari beberapa tanaman pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Tinggi Muka Air Tanaman Yang ditanam di Lahan Gambut (Ambak and Melling, 2000)

Tanaman

Kedalaman Muka air (cm)

Referensi

Kelapa Sawit

50 – 75

Singh et al (1986)

Nanas

60 – 90

Tay (1980); Zahari et al. (1989)

Sagu

20 – 40

Melling, et al.(1998)

Singkong/Ketela

15 – 30

Tan and Ambak (1989);

Zahari et al. (1989)

Kacang Tanah

65 – 85

Ambak et al. (1992)

Kedelai

25 – 45

Ambak et al.(op cit)

Gandum

75

Ambak et al.(op cit)

Ubi Jalar

25

Ambak et al.(op cit)

Asparagus

25

Ambak et al.(op cit)

Sayur-Sayuran

30 - 60

Leong and Ambak (1987)

Jatuhnya muka air terlalu rendah di bawah zona perakaran karena subsiden juga akan berdampak pada hasil pertanian yang diusahakan, khususnya selama musim kering. Rendahnya konduktansi aliran air keatas dari gambut juga akan berdampak pada terhambatnya pengisian air di zona perakaran tanaman melalui capillary rise, hal ini akan mengakibatkan tanaman menjadi stress air. Muka air perlu dijaga pada kondisi yang setinggi mungkin namun konsisten dengan pertumbuhan tanaman. Selama musim kering, muka air sebaiknya lebih tinggi lagi untuk mencegah terjadinya kebakaran gambut.

Pemilihan jenis tanaman yang akan di kembangkan pada suatu lahan gambut yang khusus menjadi sangat penting. Pemilihan ini tentunya akan menentukan kebutuhan dari kedalaman drainasenya. Menjadi sesuatu yang tidak bijaksana manakala mengembangkan tanaman pada lokasi gambut yang sama dengan kedalaman perakaran tanaman akan muka air sedalam 75 cm (misalnya untuk kelapa sawit), jika di perkebunan sekitarnya sedang dicoba untuk menjaga agar tinggi muka air pada kedalaman 30 cm (misalnya untuk sagu). Hal ini tentunya akan menimbulkan konflik tentang kebutuhan air. Pemiihan tanaman dalam hubungannya dengan lokasi daerah tangkapan juga harus dipertimbangkan dengan baik supaya tidak mempengaruhi fungsi dari rawa gambut sebagai sumber pasokan air. Hama seperti tikus (utamanya Rattus tiomanicus) dan rayap (Coptotermes curvignatus) dapat dikurangi atau dicegah dengan muka air yang tinggi serta manajemen air yang baik.

Penjagaan muka air setinggi mungkin juga dapat mendorong pertumbuhan Nephrolepsis dengan cepat, yang akan menutup permukaan gambut sehingga permukaan gambut tidak terbuka, selain itu juga akan menjaga lingkungan menjadi lebih dingin. Pemamaparan permukaan gambut di bawah matahari langsung akan mcenderung membentuk organic crusting yang mana hal ini akan berakibat pada semakin menurunnya infiltrasi dan meningkatkan aliran permukaan dan juga tentunya akan meningkatkan erosi gambut. Tanaman penutup legum tidak dianjurkan sebab dapat meningkatkan laju mineralisasi gambut, yang pada akhirnya akan meningkatkan laju subsiden.

3. Irigasi

Manakala tinggi muka air tidak bisa dikontrol dan selalu berada jauh di bawah dari kedalaman yang dibutuhkan, maka irigasi perlu dilakukan, khususnya bagi pertanaman yang berdaur pendek (tanaman semusim). Hal ini penting untuk menjaga suplai air bagi pertumbuhan tanaman sebagaimana juga untuk menjaga pengeringan yang berlebihan di lapisan top soil.

Untuk tanaman tahunan, maka perhitungan irigasi harus dipertimbangkan. Jadwal penanaman dan sistem irigasi yang dibutuhkan harus memperhitungkan jumlah air tanah yang tersedia di atas tinggi muka air, jumlah air hujan beserta distribusinya dan evapotranspirasi dari areal tersebut. Harus terdapat pengatur perhitungan yang memadai terhadap suplai air dari sumber-sumber yang ada untuk irigasi balik khususnya pada saat musim kering.

4. Banjir (Flooding)

Dalam rangka meminimalkan terjadinya subsiden tanah, maka pendekatan yang paling baik adalah dengan cara membanjiri tanah dan mengadopsi penggunaan akuatik dari lahan gambut seperti penanaman dengan tanaman yang Hidrofilik (suka-air) atau tanaman yang tolerant terhadap air dan secara ekonomis juga penting, misalnya Chinese water chestnuts (Eleocharis tuberosa), Chinese spinach (Amaranthus hybridus), Kangkung (Ipomoea aquatica), water cress dan lain-lain.


V. PENUTUP

Manajemen air di kawasan gambut memegang peranan yang sangat penting baik bagi pertumbuhan tanaman maupun bagi usaha pencegahan kebakaran hutan. Semakin baik manajemen air yang diterapkan maka produktifitas hasil pertanian dan perkebunan juga akan semakin baik disamping bahaya kebakaran lahan gambut bisa dihindari. Sebaliknya jika manajemen airnya jelek maka produktifitas pertanian juga akan menurun dan kemungkinan bahaya kebakaran gambut bisa terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

Ambak, K and Melling, J. 2000. Management Practices for Sustainable Cultivation of Crop Plants on Tropical Peatland. In Proceedings of the International Symposium on TROPICAL PEATLANDS. Bogor, Indonesia, 22-23 November 1999. Hokkaido University & Indonesian Institute of Sciences. pp. 119-134 (2000)

Burning Issues. 2003. Membakar lahan gambut sama artinya dengan membuat polusi asap. Project Officer, Project FireFight South East Asia N0. 7 Mei 2003.

Budianta, D. 2003. Strategi Pemanfaatan Hutan gambut Yang Berwawasan Lingkungan. Makalah pada Lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut Secara Bijaksana dan berkelanjutan di Indonesia. Bogor, 13-14 Oktober 2003

Darmawidjaja, M.I. 1980. Klasifikasi tanah. BPTK Gambung, Bandung.

FAO-UNESCO. 1974. Soil map of the world. Vol 1. Legend. Unesco, Paris.

Huat, B. K. 2003. An Integrated Approach Needed For Peatland Development. Sunday Tribune (9 March 2003). http://www.eng.upm.edu.my/asset2/ archives/12.Anintegratedapproach.htm

Inoue, K. 2000. Discussion on Rural Development of Peat Swamp Area of Central Kalimantan from Hydrological Aspect. In Proceedings of the International Symposium on TROPICAL PEATLANDS. Bogor, Indonesia, 22-23 November 1999. Hokkaido University & Indonesian Institute of Sciences. pp. 145-149 (2000)

Jamaludin B. J. 2002. Sarawak : Peat Agricultural Use. STRAPEAT. March 2002. MARDI. Malaysia..

Jinu, A. 2002. Proyek PLG Sejuta Hektar Dari "Lumbung Beras" Berubah Jadi Lumbung Masalah. Kompas-Online, Rabu 20 Pebruari 2002. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0202/20/ daerah/dari28.htm

Kompas-Online, 14 Oktober 2004. Atasi Kebakaran, Kanal Lahan Gambut Sejuta Hektar Dibendung. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/14/daerah/1325305.htm.

Lee, D. 2004. Concept Proposal : Reducing Impacts and Enhancing Sustainable Management of Oil Palm. Presentation Matter on 2nd Round Table Meeting on Sustainable Palm Oil. 5-6th October 2004 – Grand Hyatt Jakarta, Indonesia.

Miettinen, O. 2004. Perkebunan Baru Bahan Pulp Berskala Luas Mengancam Hutan-Hutan Rawa Riau. Terjemahan oleh Saleh Abdullah Friends of the Earth Finland, 9 Desember 2004. http://www.maanystavat.fi/april/expansion/indo.html

Saharjo, B. H. 2003. Kebakaran Gambut. Kompas-Online, 21 Juli 2003. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/21/ilpeng/440416.htm

1 komentar:

Unknown mengatakan...

cakep pak tulisannya, tambah lagi nanti saya baca.