Pengelolaan Air tanah (Groundwater) Yang Lestari
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
A. Pendahuluan
Pada dasarnya air tanah merupakan sumberdaya alam yang terbarukan (renewable natural resources), dan memainkan peranan penting pada penyediaan pasokan kebutuhan air untuk berbagai keperluan. Mengingat peranannya yang semakin vital, maka pemanfaatan air tanah harus memperhatikan keseimbangan dan pelestarian sumberdaya itu sendiri atau dengan kata lain pemanfaatan air tanah harus berwawasan lingkungan dan lestari (sustainable).
Air tanah sebagai salah satu sumberdaya air, saat ini telah menjadi permasalahan nasional yang cukup komplek, sehingga mutlak dituntut perlunya langkah-langkah nyata untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi air tanah yang tidak terkendali. Pengelolaan air tanah harus dilakukan secara bijaksana yang bertumpu pada aspek hukum, yakni peraturan yang berlaku di bidang air tanah, serta aspek teknis yang menyangkut pengetahuan ke-air tanah-an (groundwater knowledge) di suatu daerah (Hendrayanaa, 2002).
Penggunaan air tanah berlebihan telah mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah, penurunan muka tanah (land subsidence), dan intrusi air laut semakin jauh ke darat. Di kota Bandung, penurunan muka air tanah pada akuifer menengah (intermediate well, 40-150 meter) berkisar antara 0,12 – 8,76 meter per tahun dan pada akuifer dalam (deep well, >150 meter) berkisar antara 1,44 – 12,48 meter per tahun. Di Jakarta (di kawasan Cengakareng, Grogol, Cempaka Putih, dan Cakung) telah terjadi penurunan muka air tanah sampai 17 meter (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Di Jakarta, penurunan muka air tanah yang dalam dan luas membentuk sebuah kerucut, terjadi di empat kawasan, yaitu wilayah Daan Mogot Barat, Daan Mogot Timur – Kapuk, Cakung – Cilincing, dan Jalan Raya Bekasi – Pondok Ungu yang mencapai 40 – 50 meter di bawah permukaan laut. Dibanding tahun 1999, daerah yang mengalami kerucut penurunan muka air tanah telah bertambah luas, terutama pada akuifer tengah sesuai dengan peningkatan jumlah pengambilan air tanah. Gejala amblesan terjadi di hampir seluruh wilayah Jakarta dengan kisaran 10 – 100 cm. Amblesan yang lebih besar dari 80 cm terjadi di daerah Daan Mogot, Jakarta Barat (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Di Semarang, penurunan muka air tanah lebih dari dua meter dihitung dari kondisi awal, bahkan terjadi kerucut penurunan muka air tanah pada kedudukan 20 meter di bawah muka air laut (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Di Kabupaten Nganjuk – Jawa Timur, sejak tahun 1996, pada wilayah Kecamatan Gondang, Rejoso, dan Sukomoro, pompa pada sumur dalam (deep well) harus diturunkan 1 – 3 meter di bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan air tanah pada musim kemarau. Pada tahun 1998 pompa harus diturunkan 1 – 5 meter dibawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan air pada musim kemarau. Beberapa sumur dangkal (shalow well) tidak dapat dieksploitasi pada musim kemarau karena kedalaman sumur yang relatif dalam, yaitu 12 – 20 meter. Eksploitasi sumur air tanah dengan jarak antar sumur yang rapat (lebih kecil dari jarak optimum) telah meningkatkan penurunan muka air tanah (Liyantono, 2001).
Selain kondisi air tanah (groundwater), ekosistem mata air merupakan salah satu ekosistem lahan basah dan seringkali sebagai permulaan dari sebuah aliran sungai. Sumber air ekosistem mata air adalah aliran air tanah yang muncul ke permukaan tanah secara alami, yang disebabkan oleh terpotongnya aliran air tanah oleh bentuk topografi setempat dan keluar dari batuan. Pada umumnya mata air muncul di daerah kaki perbukitan atau bagian lereng, lembah perbukitan, dan di daerah dataran.
Kondisi daerah resapan (recharge area) sangat berpengaruh terhadap debit mata air dan kualitas airnya. Tata guna lahan pada daerah resapan berpengaruh langsung terhadap bagian air hujan yang masuk ke dalam tanah sebagai aliran air tanah (Grounwater flow) yang nota bene merupakan sumber mata air. Pada saat ini, beberapa daerah resapan mata air (khususnya di P.Jawa) telah mengalami kerusakan yang mengkhawatirkan. Beberapa mata air di daerah Bogor, Purwokerto, dan Malang telah mengalami penurunan debit bila dibandingkan dengan kondisi tahun 1970 an. Apabila tidak ada upaya pengendalian kerusakan ekosistem mata air, maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan mata air di masa mendatang akan terganggu. Penurunan/hilangnya debit mata air juga berarti kerusakan ekosistem mata air secara keseluruhan sebagai salah satu ekosistem lahan basah. Di Wilayah Bogor, hingga Tahun 2001 telah terjadi penurunan debit mata air yang dimanfaatkan oleh PDAM setempat, yaitu sebesar 4 – 15 % (Prastowo, 2001).
Gambaran tersebut merupakan indikasi bahwa pengelolaan sumberdaya air, khususnya air tanah yang bertumpu pada aspek hukum/kelembagaan yang ada dan aspek teknis yang ada saat ini, belum mampu mengatasi dampak negatif yang timbul. Aspek teknis dan aspek hukum serta kelembagaan merupakan dasar dari penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air tanah. Oleh sebab itu kedua aspek tersebut mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air bawah tanah yang menjamin kemakmuran bagi seluruh rakyat dalam memanfaatkan air tanah sekaligus menjamin keberlanjutan sumberdaya air itu sendiri. Kebutuhan tersebut semakin mendesak dengan diberlakukannya Undang-Undang No, 22 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan dan tanggung jawab daerah secara otonom untuk mengelola sumberdaya alam (termasuk sumberdaya air) yang ada di wilayahnya. Pada era otonomi dan desentralisasi, pengelolaan sumberdaya air menjadi semakin rumit. Aspek hukum dan kelembagaan pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan paradigma pemerintahan yang baru tersebut, sehingga menjamin pemanfaatan yang lebih adil bagi seluruh masyarakat di setiap daerah otonom, serta kelestarian sumberdaya tersebut (Hendrayana, 2002).
B. Kecenderungan Pengelolaan Sumberdaya Air Secara Umum di Indonesia
Pendayagunaan dan perlindungan sumberdaya air secara umum di Indonesia (dimasa lalu) ditandai oleh beberapa kecenderungan (Helmi, 2002).
Pertama, tanggung jawab pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air terpisah diantara berbagai instansi pemerintah dimana koordinasi diantaranya masih merupakan permasalahan. Diantara instansi pemerintah yang terkait antara lain : Departemen Kimpraswil (dulu: Departemen Pekerjaan Umum); Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan dan Perkebunan; Departemen Kewsehatan dan Sosial; Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup; Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral; Departemen Pariwisata Seni dan Budaya; Departemen Perhubungan dan lainnya.
Kedua, kecenderungan penurunan kondisi sumberdaya air di Indonesia baik secara kualitas maupun kuantitas mengisyaratkan perlunya perhatian lebih besar diberikan untuk meningkatkan pengelolaannya. Di Jawa dan Bali ratio antara penggunaan dan dependable flow telah semakin meningkat. Pada tahun 1995 Indeks Pengguaan Air (IPA) di Jawa adalah sekitar 51%. Tingkat IPA yang dianggap praktikal di beberapa negara adalah antara 30% - 60%. Bahkan di Satuan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (yang melayani Jabotabek), IPA-nya sudah mencapai 100%. Ini artinya antara dependable flow dan jumlah permintaan sudah hampir atau telah berimbang. Perkembangan industri, daerah perkotaan, turisme, kebutuhan akan pelayanan air minum dan air bersih lainnya telah meningkatkan kompetisi pemakaian air diantara berbagai kelompok pengguna tersebut dengan kecenderungan realokasi air dari irigasi ke penggunaan non-irigasi.
Ketiga, walaupun sudah mulai terjadi perubahan, tetapi secara umum pembangunan dan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia masih berorientasi pada sisi penyediaan (Supply). Ciri-ciri dari supply-side management ini antara lain adalah :
1. Air diperlakukan sebagai sumberdaya yang kuantitas ketersediaannya tidak terbatas;
2. Tugas pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air hampir keseluruhannya ditangani oleh instansi pemerintah yang bertugas dalam bidang air dengan fungsi utama menyediakan air kepada pengguna dengan beaya yang relatif rendah atau gratis sama sekali (contohnya dalam bidang irigasi);
3. pendekatan yang dipakai adalah berorientasi konstruksi untuk membangun fasilitas supply baru, dengan perhatian utama terfokus pada efisiensi dari sudut pandang teknis.
Keempat, teknologi delivery (terutama untuk irigasi) yang digunakan baik dari sumber air menuju ke areal pelayanan maupun menuju ke zona perakaran masih memberikan tingkat efisiensi yang relatif rendah.
C. Permasalahan Pelaksanaan Pengelolaan Air Tanah
Pada pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air tanah selama ini dapat diidentifikasikan masalah-masalah penyebab kurang optimalnya pencapaian sasaran pengelolaan sumberdaya air tanah (Hendrayana, 2002), yaitu :
© Kebijakan pengelolaan yang mengingkari karakteristik air tanah, kurang/tidak menjamin hak dasar masyarakat mendapatkan akses penyediaan air, serta kurang/tidak mengakomodasikan keinginan masyarakat lokal, kurang/tidak melibatkan partisipasi para pihak lain yang berkepentingan, daerah, dan masyarakat lokal, kurang/tidak memberdayakan sumberdaya lokal.
© Peraturan perundangan kurang efektif dan tidak cukup menunjuang pelaksanaan pengelolaan. Undang-Undang No 11 Tahun 1974 dan peraturan turunannya, tidak secara tegas mengatur dan menetapkan kewenangan dan tanggung jawab setiap lembaga yang berkaitan dengan pengumpulan data dan sistem pengelolaannya, serta tidak mengatur secara tegas hubungan kelembagaan antar instansi yang berkaitan dengan hal tersebut.
© Fragmentasi sistem pengelolaan sumberdaya air, yang membedakan antara air hujan, air permukaan dan air tanah. Air tanah dikelola secara terpisah dengan air permukaan, oleh institusi yang berbeda, baik ditingkat pusat maupun daerah. Hal ini menyebabkan pengelolaan pemanfaatan air yang saling menunjang tidak dapat dilaksanakan.
© Sentralisasi yang terlampau kuat, berakibat memperpanjang sistem pengambilan keputusan. Disamping itu, kurang atau tidak memberdayakan organisasi di daerah yang menyebabkan daerah kurang atau tidak mempunyai rasa memiliki atas sumberdaya air yang ada di wilayahnya.
© Desentralisasi pengelolaan sampai tingkat kabupaten/kota cenderung mengabaikan prinsip pengelolaan akifer lintas batas. Kewenangan yang dimiliki daerah otonom terbatas dalam lingkup wilayah administratif pemerintahan, sehingga daerah cenderung hanya berkepentingan atas sumberdaya air yang ada di wilayahnya, sedangakan sifat air tidak mengenal batas kewenangan tersebut.
© Tidak adanya jaringan data dan informasi air tanah antar lembaga pengumpul atau pengelola data air tanah, hal tersebut akibat keterbatasan sumberdaya serta kurang diberdayakannya sumberdaya daerah.
© Pemanfaatan air tanah yang parsial, kurang berkeadilan, serta tidak/kurang menjamin hak masyarakat, terutama masyarakat miskin untuk mendapatkan akses penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
© Pemanfaatan air tanah yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan nilai-nilai ekonomi dan lingkungan air tanah. Pemanfaatan lebih menitikberatkan pada eksploitasi dan mendapatkan pendapatan bagi daerah daripada konservasinya.
© Data dan informasi air tanah yang kurang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya. Data dan informasi yang ada kurang informatif dan tidak seragam dalam format, belum tersusunnya standar informasi air tanah, yang merupakan alat bantu pada dasar perencanaan pengelolaan dan pendukung pengambilan keputusan.
© Degradasi kualitas, kuantitas dan lingkungan air tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, pencemaran dan perubahan fungsi lahan terutama di cekungan perkotaan. Di sisi lain, telah terjadi peningkatan kebutuhan sumber air baku yang sangat pesat, dan akhirnya terjadi konflik antar pengguna air baku.
© Keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun di daerah, menyebabkan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan.
© Pengawasan dan penegakan hukum yang lemah atas setiap pelanggaran yang terjadi terhadap peraturan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan.
© Konsep pengelolaan dan konservasi air tanah tidak didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan air tanah, tetapi lebih didasarkan pada pengelolaan sumur (well management) dan juga didasarkan pada batas administrasi.
© Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat awam terhadap pemahaman air bawah tanah, sehingga kurang peduli terhadap keberadaan air tanah baik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya.
Sebagai contoh kasus aktual yang bisa dijadikan pelajaran apa yang terjadi di Bandung Utara. Akibat kebijakan yang salah dalam pemanfaatan tanah dan pengelolaan air tanah telah terjadi eksploitasi besar-besaran yang mengkhawatirkan. Kuswartojo (2002) mengemukakan bahwa apa yang terjadi di kawasan Bandung Utara adalah sekedar contoh bagaimana lemahnya pengendalian penggunaan tanah dan bagaimana konsep penataan ruang ternyata tidak dapat diimplementasikan. Akibatnya perubahan penggunaan tanah oleh tekanan perkembangan kota berlangsung tanpa kendali. Dampak perubahan penggunaan tanah sering tidak segera tampak dan segera dapat dirasakan karena perubahan penggunaan tanah itu sendiri tidak selalu merupakan peristiwa yang langsung besar. Oleh karena itulah tidak cukup menarik perhatian untuk menggugah dan membangkitkan kemauan politik.
Mengingat masih banyaknya permasalahan dan kendala yang masih ada, baik yang bersifat teknis maupun non teknis, maka hal ini harus dipertimbangkan terutama sekali pengaruhnya terhadap sasaran pelaksanaan pengelolaan air tanah dan konservasinya.
Untuk itu dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka pelaksanaan pengelolaan air tanah menghadapi beberapa tantangan, antara lain sebagai beriku (Hendrayana, 2002) :
© Pengelolaan secara total dan menyatu antara air tanah dan air permukaan, hal ini dengan menyadari bahwa air tanah adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem dan berinteraksi dengan air permukaan.
© Menerapkan konsep dasar pengelolaan air tanah secara total (Total Groundwater Management) yang memadukan konsep pengelolaan Groundwater Basin dan River Basin. Pendekatan pengelolaan air tanah dengan didasarkan pada konsep Regional-, Intermediate- dan Local/artificial Groundwater Flow System guna memecahkan permasalahan kuantitas dan kualitas air tanah pada setiap recharge area maupun discharge area.
© Desentralisasi pengelolaan, yaitu memberdayakan daerah untuk mengelola air tanah dalam lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keberadaan dan aliran air tanah serta prinsip-prinsip pengelolaan akifer lintas batas.
© Pemenuhan hak dasar, yaitu menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air dari air tanah di daerah yang kondisi air tanahnya memungkinkan, bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif. Menjamin terselenggaranya pemanfaatan air tanah yang adil bagi setiap pengguna air.
© Ketersediaan data dan informasi, yaitu membangun satu sistem informasi dan jaringan informasi air tanah yang terpadu didasari oleh data ke-air tanah-an yang andal, tepat, akurat dan berkesinambungan, yang mencakup seluruh wilayah Indonesia.
© Kelestarian ketersediaan air tanah, yaitu dengan menjamin kesinambungan antara pemanfaatan nilai ekonomi air dan ketersediaan air tanah sebagai bagian ekosistem, mencegah dan merestorasi degradasi kuantitas, kualitas dan lingkungan air tanah, mengendalikan pemanfaatan air tanah sesuai nilai ekonomi dan aspek lingkungan.
© Pemanfaatan air yang saling menunjang, yaitu menciptakan keterpaduan pemanfaatan air tanah, air permukaan dan hujan.
© Ketersediaan sumberdaya (keahlian, peralatan dan biaya) pengelolaan, yaitu dengan memberdayakan sumberdaya dari masyarakat, swasta, para pihak berkepentingan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat
D. Pengelolaan Air Tanah
Konsep pengelolaan air tanah sebenarnya tidak berbeda dengan konsep pengelolaan air permukaan. Pengelolaan air permukaan didasarkan pada pemahaman daerah aliran sungai (river basin), dengan konsep :’One River – One Plan –One Management”.
Sedangkan pengelolaan air tanah didasarkan pada pemahaman Cekungan Air Tanah (Groundwater Basin), dengan konsep ’One Basin – One Plan –One Management”, yaitu dengan mendasarkan pada konsep sistem aliran air tanah (Groundwater Flow System) yang dibedakan menjadi (1) sistem aliran air tanah regional, (2) intermediate, dan (3) sistem aliran air tanah lokal atau artificial groundwater flow system. Mengingat pengelolaan air tanah pada saat sekarang masih berorientasi proyek dan belum didasari oleh konsep yang benar, maka perlu adanya pendekatan konsep untuk pengelolaan air tanah secara menyeluruh (Total Groundwater Management) (Hendrayana, 2002).
Implementasi dari pengelolaan sumberdaya air tanah perlu didahului oleh beberapa kegiatan awal, yaitu : (1) penentuan daerah/basin yang akan dikelola, (2) penyusunan sistem informasi dan data base, dan (3) evaluasi data yang tersedia. Selain itu mutlak adanya dukungan komitmen semua yang pihak terkait pada pelaksanaan pengelolaannya. Penyusunan data base dan sistem informasi dapat dilaksanakan melalui pengumpulan data primer maupun sekunder, termasuk aspek legal, manajerial dan aspek teknis.
Cekungan air tanah sebagi satuan pengelolaan air tanah yang paling baik secara umum didefinisikan sebagai suatu cekungan hidrogeologi pada suatu wilayah yang dibatasi oleh kondisi hidraulika yang berbeda, yang mengandung satu akifer atau lebih dengan penyebaran yang luas. Cekungan air tanah secara alamiah dibatasi oleh batas-batas hidraulika yang dikontrol oleh karaktersitik geologi dan hidrogeologi wilayah setempat. Suatu cekungan air tanah dapat dibatasi oleh satu atau lebih tipe batas yang kondisi hidraulika pada setiap batasnya berbeda-beda (Hendrayana, 2002).
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sebagaimana pemahaman aliran air dalam suatu DAS, aliran air tanah pun dapat lintas wilayah administrasi, baik lintas kabupaten/kota, lintas propinsi bahkan dapat lintas negara. Sehingga pada kasus-kasus groundwater basin yang lintas wilayah administrasi, pemanfaatan air tanah tidak didasarkan pada batas administrasi namun tetap harus didasarkan pada batas cekungan air tanah/ groundwater basin .
Agar pemanfaatan air tanah dapat lestari/berkelanjutan, maka perlu usaha-usaha yang serius demi tercapainya tujuan tersebut. Hendrayana (2002) mengemukakan bahwa secara umum pengelolaan cekungan air tanah dilaksanakan melalui tiga tahapan utama, yaitu :
1. Tahapan penelitian, untuk memperoleh gambaran karakteristik fisik cekungan air tanah, identifikasi rona awal kuantitas dan kualitas air tanah, inventarisasi permasalahan atau problem air tanah, dll.
2. Tahapan observasi, untuk memantau perkembangan atau perubahan kualitas dan kuantitas air tanah, analisa data dan mengumpulkannya pada sistem data base.
3. Tahapan pengelolaan, implementasi program pelaksanaan pengelolaan air tanah berbasis cekungan air tanah.
Konsep dasar sistem pola aliran air tanah secara regional, intermediate dan lokal sangat berperan dalam pendekatan konsep pengelolaan cekungan air tanah di suatu daerah, yaitu untuk pendekatan konsep pengelolaan kuantitas dan kualitas air tanah.
Aliran air tanah regional (Regional Groundwater Flow System) adalah aliran air tanah yang mengalir secara regional dari satu wilayah ke wilayah lainnya dalam satu atau antar cekungan air tanah. Pola aliran ini diperoleh dari pemetaan pada skala regional 1:100000 atau lebih kasar (1:250000 dan seterusnya). Konsep ini efektif digunakan dalam konsep pendekatan pengelolaan kuantitas air tanah. Aliran air tanah intermediate (Intermediate Groundwater Flow System) adalah aliran air tanah yang mengalir dari satu tempat ke tempat lainnya dalam satu cekungan air tanah. Pola aliran ini diperoleh dari pemetaan pada skala intermediate 1:50000 atau 1:25000. Konsep ini efektif digunakan dalam konsep pendekatan pengelolaan kuantitas air tanah dan pada kondisi tertentu untuk pendekatan pengelolaan kualitas air tanah. Aliran air tanah Lokal (Local Groundwater Flow System) adalah aliran air tanah yang mengalir dari satu lokasi ke lokasi lainnya dalam satu cekungan air tanah. Pola aliran ini diperoleh dari pemetaan pada skala rinci 1:12500 atau lebih detail 1:10000 dan seterusnya. Pola aliran ini sebagian besar merupakan kondisi aliran air tanah yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia, namun dibeberapa tempat tertentu merupakan kondisi alamiah (dikontrol oleh kondisi morfologi setempat (faktor geogen). Konsep ini efektif digunakan dalam konsep pendekatan pengelolaan kualitas air tanah (Hendrayana, 2002).
Pendekatan konsep pengelolaan kuantitas air tanah dengan melihat pola aliran air tanah regional maupun pola aliran air tanah intermediate untuk kemudian dibuat neraca air tanah dari suatu groundwater basin tertentu. Dengan mengetahui besarnya neraca air tanah, maka dapat diketahui berapa besarnya debit air tanah yang dapat dimanfaatkan. Agar pengelolaan air menjadi lebih integratif, maka pola pendekatan konsep tersebut harus dipadukan dengan konsep pengelolaan air permukaan yang berbasis DAS. Hal ini dilakukan untuk analisis sistem aliran regional ataupun intermediate dan karakterisasi daerah recharge dan discharge aliran permukaan. Dengan demikian neraca air permukaan juga dapat dihitung dengan lebih baik.
Sedangkan pengelolaan kualitas air tanah akan sangat terkait dengan proses kontaminasi atau pencemaran air tanah. Dalam pengelolaan kualitas air tanah ini, konsep mikrohidrogeologi dapat diterapkan pada cekungan air tanah untuk mengetahui sistem aliran air tanah secara lokal (Local Groundwater Flow System), yang pada dasarnya sangat berpengaruh pada proses dan pergerakan massa/kontaminan dalam air tanah. Dengan berbasis pada konsep aliran air tanah secara lokal ini, maka data hidrokimia air tanah dan air permukaan sangat berkaitan dalam cekungan air tanah dan daerah aliran sungai, serta dengan dukungan sistem database yang baik maka implementasi konsep pengelolaan kualitas air tanah ini dapat dilaksanakan dengan lebih akurat.
E. Penutup
Pengelolaan air tanah di Indonesia selama ini belum didasarkan pada konsep pengelolaan yang benar baik untuk pengelolaan kuantitas maupun kualitasnya. Akibat dari tidak benarnya penerapan pengelolaan air tanah ini, dibeberapa kota telah terjadi degradasi air tanah terutama dilihat dari semakin meningkatnya kedalaman air tanah. Perlunya paradigma baru dalam pengelolaan sumberdaya air di Indonesia yaitu : (1) Pengelolaan terpadu antar setiap jenis sumberdaya air (air hujan, air permukaan dan air bawah tanah), tidak lagi terfragmentasi dan (2) Pengelolaan yang tidak hanya menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya air, tetapi juga menjamin keberlanjutan/kelestarian (sustainability) ketersediaan sumberdaya air dalam ruang dan waktu tertentu, baik dilihat dari segi jumlah maupun mutunya.
DAFTAR PUSTAKA
Helmi. 2002. Tantangan Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air di Indonesia dalam Pengelolaan dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia Editor : Nugroho, S. P., S. Adi, dan B. Setiadi. Cetakan I. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.
Hendrayana, H. 2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan dalam Pengelolaan dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia Editor : Nugroho, S. P., S. Adi, dan B. Setiadi. Cetakan I. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.
Kuswartojo, T. 2002. Pengendalian Penggunaan Tanah Sebagai Instrumen Pengelolaan Sumberdaya air : Kasus Bandung Utara dalam Pengelolaan dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia Editor : Nugroho, S. P., S. Adi, dan B. Setiadi. Cetakan I. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Laporan Status Lingkungan Hidup Tahun 2002. Jakarta.
Liyantono. 2001. Potensi dan Pola Pemanfaatan Air Tanah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Fateta-IPB, Bogor.
Prastowo. 2003. Masalah Sumberdaya Air Di Indonesia: Kerusakan Daerah Aliran Sungai Dan Rendahnya Kinerja Pemanfaatan Air. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/prastowo.htm(17/05/04)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar