Sabtu, 15 Desember 2007

Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia

PELUANG DAN TANTANGAN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI INDONESIA

Oleh

Bejo Slamet

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara


A. Pendahuluan

Pada mulanya air adalah masalah yang sederhana yaitu darimana air itu dating dan bagaimana memanfaatkannya. Namun sekarang, air menjadi masalah yang jauh lebih rumit. Hasil kajian global kondisi krisis air dunia yang disampaikan pada 2nd World Water Forum, di Den Haag tahun 2000 yang lalu diungkapkan, bahwa salah satu penyebab krisis air pada Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia adalah kelemahan dalam penyelenggaraan (governance) pengelolaan air. Hal ini menjadi salah satu tantangan dari tujuh tantangan yang telah disepakati oleh para menteri penandatangan Ministerial Declaration of the Hague on Water security in the 21st Century. Dengan kata lain yang disebut sebagai krisi air bukanlah airnya yang krisis tetapi penyelenggaraan pengelolaan. Demikian rumitnya masalah sumberdaya air sehingga masalah air menjadi salah satu agenda dalam World Summit Sustainable Development (WSSD) yang diselenggarakan di Johannesburg Afrika Selatan bulan September 2002. Hal ini berarti air sudah menjadi persoalan dan agenda untuk diselesaikan di tingkat dunia. Di sektor hulu, sebagian besar masyarakat di dunia menghadapi masalah karena sumber-sumber air yang semakin langka, dan di sektor hilir keterbatasan pasokan air mengakibatkan konflik-konflik antar komunitas dan pemanfaatan meningkat di berbagai wilayah. Air yang semula adalah berkah, sekarang menjadi masalah (Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2002).

Dalam beberapa tahun terakhir perhatian terhadap perlunya peningkatan pengelolaan sumberdaya air baik secara internasional maupun nasional telah semakin besar. Secara internasional telah disepakati prinsip-prinsip dasar pengelolaan terpadu sumberdaya air (integrated water resources management/IWRM) dan secara nasional Pemerintah Indonesia telah mengadopsi kebijakan baru pengelolaan sumberdaya air. Pembaharuan kebijakan ini memberikan dasar bagi aplikasi lebih luas prinsip-prinsip pengelolaan terpadu sumberdaya air (PTSDA). Namun demikian, penerapan prinsip-prinsip PTSDA di Indonesia memerlukan adanya perubahan mendasar dalam konsepsi dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya air. Dalam kaitan ini berbagai tantangan dalam penerapan prinsip PTSDA perlu untuk dicermati (Helmi, 2002).

Melalui salah satu resolusinya tahun 1988, PBB telah menyatakan bahwa penyediaan air tawar (bersih) sejumlah 50 liter/kapita/hari merupakan hak asasi manusia dengan konsekuensi negara wajib memenuhi ini sebagai bagian dari layanan publik mendasar. Tentunya ini masih menjadi tantangan bagi pemerintah dalam penyediaan air bersih masyarakat yang dalam pelaksanaannya diserahkan pada PDAM sebagai suatu bentuk usaha yang tentunya mencari untung. Kebutuhan konsumsi air secara tidak langsung sesungguhnya jauh lebih besar, yaitu dengan memperhitungkan kebutuhan air untuk menghasilkan berbagai bahan pangan, seperti : untuk memproduksi satu kg beras dibutuhkan 410 liter air; satu kg gula dibutuhkan 1040 liter air; satu kg daging dibutuhkan 20860 liter air; sehingga sesungguhnya seseorang membutuhkan air sebesar 2600 liter/orang/hari (FAO, 1996 dalam Pawitan, 2002).

Indonesia sebagai negara hujan tropika basah memiliki curah hujan wilayah yang relatif tinggi, yaitu dengan rerata tahunan sebesar 2779 mm dengan variasi wilayah dari terkering 600 mm/tahun di lembah Palu sampai 7070 mm/tahun di Baturaden. Oleh karena itu, FAO tidak memasukkan Indonesia sbagai negara yang rawan krisis air dalam memasuki abad 21. Akan tetapi dengan perkembangan penduduk yang ada dan penyebaran yang tidak seimbang antara wilayah perkotaan dan pedesaan, diikuti oleh peningkatan kebutuhan lahan dan air, baik untuk pertanian, domestik, perkotaan dan industri, menyebabkan intervensi manusia terhadap sumberdaya air semakin besar, yang menyebabkan terjadinya perubahan regim hidrologi wilayah dan penurunan mutu air secara nyata. Faktor lain yang juga perlu diperhitungkan adalah terjadinya perubahan iklim global yang akan berdampak luas pada sistem sumberdaya air yang ada, yang memerlukan penilaian kerentanannya. Bencana banjir dan kekeringan yang semakin sering terjadi mengancam sistem keamanan pangan nasional, dan penurunan mutu air akibat pencemaran dari pertanian, domestik, dan industri juga turut memberi andil terhadap krisis air, khususnya di wilayah yang rentan dan daya dukungnya telah terlampaui seperti daerah perkotaan umumnya (Pawitan, 2002).

B. Prinsip dan Kebijakan Dasar Pengelolaan Sumberdaya Air

Prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya air (Budihardjo, 2002) adalah :

(1) Pengelolaan sumberdaya air pada dasarnya berupa pemanfaatan, perlindungan dan pengendalian.

(2) Pengelolaan sumberdaya air dilaksanakan secara terpadu (multisektor), menyeluruh (hulu-hilir, kualitas-kuantitas, instream-offstream, berkelanjutan (antar generasi), berwawasan lingkungan (konservasi ekosistem) dengan wilayah sungai (satuan wilayah hidrologis) sebagai kesatuan pengelolaan. Satu sungai, satu rencana, satu pengelolaan terpadu dengan memperhatikan sistem pemerintahan yang disentralisasi : (a) satu sungai dalam artian daerah pengaliran sungai (DPS) yang merupakan kesatuan wilayah hidrologis yang dapat mencakup wilayah administratif yang ditetapkan sebagai satu kesatuan wilayah fasilitas yang tidak dapat dipisah-pisahkan; (b) dalam satu sungai hanya berlaku satu rencana induk dan satu rencana kerja yang terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; (c) dalam satu sungai diterapkan satu sistem pengelolaan yang dapat menjamin keterpaduan kebijakan strategis dan perencanaan operasional dari hulu sampai hilir.

(3) Lingkup pengelolaan sumber air : (a) pengelolaan daerah tangkapan hujan/watershed management,; (b) pengelolaan kuantitas air/water quantity management; (c) pengelolaan kualitas air/water quality management; (d) penngendalian banjir/flood control management; (e) pengelolaan lingkungan sungai/river environtment management.

(4) Berlandaskan asas kelestarian, kemanfaatan, keadilan dan kemandirian.

(5) Pengelolaan menyeluruh dan terpadu infrastruktut keairan yang meliputi :

© Sistem penyediaan air, termasuk didalamnya waduk, penampung air, jaringan transmisi dan distribusi, fasilitas pengolahan air (treatment plant).

© Sistem pengelolaan air limbah (waste water), termasuk di dalamnya fasilitas pengumpul, pengolahan, fasilitas pembuangan, sistem daur ulang.

© Fasilitas pengelolaan limbah padat (solid-waste management0

© Fasilitas pengendalian banjir, drainase dan irigasi.

© Fasilitas lintas air dan navigasi

© Sistem kelistrikan (PLTA)

Sedangkan kebijakan dasar pengelolaan sumberdaya air di Indonesia (Budihardjo, 2002) adalah :

(1) Pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air secara nasional dilakukan secara holistic, terencana dan berkelanjutan, bersara UUD 1945 pasal 33;

(2) Perencanaan, pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air yang bersifat spesifik harus dilakukan secara terdesentralisasi dengan tetap berdasar satuan wilayah daerah pengaliran;

(3) Pendayagunaan sumber air harus berdasarkan prinsip partisipasi dan konsultasi pada masyarakat di setiap tingkat dan mendorong pada tumbuhnya komitmen bersama antar pihak terkait (stakeholder) dan penyelenggaraan aktifitas-aktifitas yang layak secara sosial.

(4) Pendayagunaan sumber air yang berhasil, memerlukan komitmen untuk mengembangkan dan pengelolaan secara berkelanjutan dengan pemantauan, evaluasi, penelitian dan pembelajaran pada berbagai tingkat untuk menjawab secara efektif kebutuhan yang berkembang di tingkat nasional, DPS, proyek, daerah layanan dan daerah administratif;

(5) Masyarakat yang memperoleh kenikmatan atas pengelolaan sumber daya air (pemanfaatan pengalokasian atau pendistribusian, perlindungan dan pengendalian) secara bertahap wajib menanggung biaya pengelolaan, dll.

C. Potensi dan Tantangan Pengelolaan Air dan Sumber Air

Sumber air tawar di Indonesia dengan iklim tropika basah sepenuhnya berasal dari air hujan. Hujan 1 mm/tahun equivalen dengan 100000 m3/Ha/tahun, jika luas daratan Indonesia ± 200 juta ha, maka hujan yang jatuh di daratan Indonesia sebanyak ± 20 juta km3 air. Volume air sebesar itu ± 30% menjadi sumber air yang potensial tertampung pada danau alam dan buatan, waduk-waduk dan rawa-rawa dan sebagian lagi meresap ke dalam tanah sebagai air tanah dan ± 70% merupakan aliran permukaan (surface run off) yang masuk ke sungai-sungai dan sebagian terbuang percuma ke laut (Mochtar, 2002). Melihat potensi air di Indonesia sebesar ± 70% yang tidak termanfaatkan berupa banjir dan tebuang ke laut, apalagi kalau diingat bahwa keberadaan air tersebut tidak dijumpai sepanjang tahun dan pada setiap tempat/lokasi di Indonesia, maka diperlukan suatu pengelolaan air dan sumber air yang terpadu berkelanjutan.

Air permukaan terdiri atas air yang terdapat di danau, situ, waduk atau reservoir buatan, dan yang mengalir di sungai-sungai. Ketersediaan air permukaan merupakan sumber air yang langsung dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan. Sedangkan air tanah (ground water) yang tersimpan di bawah permukaan dalam sistem akifer, sering merupakan waduk bawah permukaan dengan cadangan sangat besar. Akan tetapi dengan letaknya di kedalaman, informasi mengenai inflow, outflow dan kapasitas sistem akifer ini sering tidak cukup diketahui untuk kebanyakan wilayah Indonesia, sehingga pemanfaatannya juga masih terbatas atau tidak sesuai dengan daya dukung yang ada. Ketersediaan air tanah perlu diperhitungkan dari besarnya imbuhan sistem akifer yang ada untuk menjamin kelestariannya (Pawitan, 2002). Tabel 1 memperlihatkan potensi total air tersedia menurut wilayah di Indonesia, baik air permukaan maupun air tanah (ground water). Tampak bahwa total air tersedia untuk Indonesia adalah 2110 mm/tahun atau setara 127755 m3/detik atau 4032266 MCM/tahun (MCM=mega-cubic-meter).

Tabel 1. Total Air Tersedia Menurut Wilayah di Indonesia

Wilayah/

Pulau

Luas

(Km2)

CH

(mm/thn)

Air Permukaan

Air tanah

(ground water)

Total Air Tersedia

m3/detik

mm/thn

m3/detik

mm/thn

m3/detik

mm/thn

Sumatera

477379

2801

1848

27962

280

4236

2128

32198

Jawa

121304

2555

1659

6378

256

982

1915

7360

Bali & NT

87939

1695

977

2779

169

472

1167

3251

Kalimantan

534847

2956

1968

33359

296

5010

2264

38369

Sulawesi

190375

2156

1352

8157

216

1301

1568

9458

Malukju

85351

2218

1400

3785

222

600

1621

4385

Papua

413949

3224

2171

28524

322

4229

2497

32754

Indonesia

1911144

2779

1832

110944

278

16831

2110

127775

Sumber : Pawitan et al (1996 dalam Pawitan, 2002)

Sebarannya menurut pulau-pulau utama terutama terdapat di Sumatera, kalimantan dan papua yang mencapai hampir 80% dari total air tersedia. Sedang di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara kurang dari 10% total air tersedia. Dan apabila ketersediaan air primer diperhitungkan dari besarnya aliran minimum yang terjadi secara periodik menurut frekuensi aliran rendah, maka kapasitas air wilayah diperkirakan hanya 25% (setara frekuensi 5-tahunan) atau 10% (setara frekuensi 25-tahunan) saja dari nilai reratanya, yaitu untuk menggambarkan ketersediaan air andalan. Apabila jumlah ketersediaan air primer wilayah dibagi dengan jumlah penduduk dihasilkan indeks ketersediaan air (IKA) yang dapat dijadikan tingkat kekritisan ketersediaan air suatu wilayah. Hasil perhitungan Bina Program Pengairan -PU tahun 1991 untuk wilayah jakarta diperoleh nilai IKA 0,15 m3/kapita/hari. Sedangkan penduduk papua berlimpah dengan IKA 1480 m3/kapita/hari. Nampak bahwa pulau Jawa dan Bali termasuk wilayah yang kekurangan sumberdaya air (Pawitan, 2002).

Tantangan utama pengelolaan air adalah tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat dan beragam yang mengandung potensi konflik kepentingan yang cukup tinggi berupa penetapan alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber air antara hulu-hilir, antar kawasan, bahkan antar daerah. Konflik ini diperparah oleh pengertian yang salah tentang otonomi daerah yang sudah diberlakukan. Disamping itu adalah tuntutan terhadap mutu air, akurasi distribusi air baik dalam konteks waktu, ruang/lokasi, kuantitas dan kualitas makin meningkat. Karena semakin berkembangnya perekonomian nasional, khususnya di daerah-daerah padat penduduk yang menyebabkan fungsi air semakin bergeser dari semula fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi (Mochtar, 2002).

Penerapan konsepsi pengembangan sumberdaya air terpadu hingga saat ini belum menyeluruh dan justru engalami pasang surut. Dari sisi perencanaan baru sebagian kecil satuan wilayah sungai yang telah mempunyai master plan, dari master plan- master plan tersebut cakupannya pun bervariasi. Pada umumnya semua master plan itu meliputi unsur irigasi dan pengendalian banjir, tetapi unsur-unsur yang lain seperti penyediaan air baku, pembangkit tenaga listrik, pengendalian kualitas air, pengelolaan DAS, drainase, dan sebagainya tidak selalu tercakup. Salah satu masalah utama dimana pelaksanaan program dalam master plan tidak selalu mulus, adalah karena hambatan sosial dan keuangan. Kendala-kendala tersebut terutama dipengaruhi (Mochtar, 2002) oleh :

(1) Luas wilayah Indonesia dengan keberanekaragamnya. Terdapat wilayah sungai yang penduduknya sangat padat, pertumbuhan ekonominya sangat pesat dan potensi sumberdaya airnya hampir terkuras habis, tetapi ada pula wilayah sungai yang penduduknya masih sangat edikit, pertumbuhan ekonominya masih rendah dan hampir tidak ada tuntutan untuk menjamah potensi sumberdaya air yang berlimpah.

(2) Keterbatasan sistem pendanaan. Pengembangan sumberdaya air membutuhkan dana yang besar.

(3) Kelembagaan. Dalam prakteknya master plan perencanaannya disusun berdasarkan sektor instansi terkait, tidak secara terpadu.

(4) Kendala sosial. Kendala utama adalah pembebasan tanah, analisa sensitifitas yang biasa diperhitungkan seringkali tidak memadai untuk mewadahi kenyataan yang sebenarnya harus dihadapi.

D. Kecenderungan Pengelolaan Sumberdaya Air Secara Umum di Indonesia

Pendayagunaan dan perlindungan sumberdaya air secara umum di Indonesia (dimasa lalu) ditandai oleh beberapa kecenderungan (Helmi, 2002).

Pertama, tanggung jawab pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air terpisah diantara berbagai instansi pemerintah dimana koordinasi diantaranya masih merupakan permasalahan. Diantara instansi pemerintah yang terkait antara lain : Departemen Kimpraswil (dulu: Departemen Pekerjaan Umum); Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan dan Perkebunan; Departemen Kewsehatan dan Sosial; Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup; Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral; Departemen Pariwisata Seni dan Budaya; Departemen Perhubungan dan lainnya.

Kedua, kecenderungan penurunan kondisi sumberdaya air di Indonesia baik secara kualitas maupun kuantitas mengisyaratkan perlunya perhatian lebih besar diberikan untuk meningkatkan pengelolaannya. Di Jawa dan Bali ratio antara penggunaan dan dependable flow telah semakin meningkat. Pada tahun 1995 Indeks Pengguaan Air (IPA) di Jawa adalah sekitar 51%. Tingkat IPA yang dianggap praktikal di beberapa negara adalah antara 30% - 60%. Bahkan di Satuan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (yang melayani Jabotabek), IPA-nya sudah mencapai 100%. Ini artinya antara dependable flow dan jumlah permintaan sudah hampir atau telah berimbang. Perkembangan industri, daerah perkotaan, turisme, kebutuhan akan pelayanan air minum dan air bersih lainnya telah meningkatkan kompetisi pemakaian air diantara berbagai kelompok pengguna tersebut dengan kecenderungan realokasi air dari irigasi ke penggunaan non-irigasi.

Ketiga, walaupun sudah mulai terjadi perubahan, tetapi secara umum pembangunan dan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia masih berorientasi pada sisi penyediaan (Supply). Ciri-ciri dari supply-side management ini antara lain adalah :

1. Air diperlakukan sebagai sumberdaya yang kuantitas ketersediaannya tidak terbatas;

2. Tugas pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air hampir keseluruhannya ditangani oleh instansi pemerintah yang bertugas dalam bidang air dengan fungsi utama menyediakan air kepada pengguna dengan beaya yang relatif rendah atau gratis sama sekali (contohnya dalam bidang irigasi);

3. pendekatan yang dipakai adalah berorientasi konstruksi untuk membangun fasilitas supply baru, dengan perhatian utama terfokus pada efisiensi dari sudut pandang teknis.

Keempat, teknologi delivery (terutama untuk irigasi) yang digunakan baik dari sumber air menuju ke areal pelayanan maupun menuju ke zona perakaran masih memberikan tingkat efisiensi yang relatif rendah.

E. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu Yang Berkelanjutan

Pengelolaan sumberdaya air meliputi irigasi, pengembangan daerah rawa, pengendalian banjir, pengaturan penyediaan air minum, air perkotaan, air industri, pencegahan pencemaran air, dan lain-lain. Prencanaan pengelolaan sumberdaya air meliputi berbagai pilihan di antara alternatif-alternatif yang secara fisik layak. Pengelolaan sumberdaya air haruslah dilakukan dengan memandang/menganggap air dan/atau sumberdaya air dalam satu kesatuan wilayah sungai. Mengingat sumberdaya air adalah merupakan suatu aset yang mengalir (flowing aset), artinya pengelolaan di daerah hulu akan mempengaruhi daerah hilirnya. Maka, pendekatan pengelolaan sumberdaya air baru akan verhasil dengan baik apabila pengelolaannya dilakukan secara terpadu dalam satu kesatuan wilayah sungai, atau yang dikenal dengan istilah “one river, one plan, one management” (satu sungai, satu perencanaan, satu kesatuan pengelolaan). Pengelolaanini dilakukan dengan mengikutsertakan dan memperhatikan kepentingansemua pihak yang terkait termasuk peran serta masyarakat (Isnugroho, 2002).

Tahapan untuk menuju sistem pengelolaan air dan sumber air terpadu yang berkelanjutan, diperlukan perangkat yang dapat menjamin proses untuk mendorong makin mendekatnya pengelolaan air pada kondisi benar dalam pengertian adil, optimal dan sustainable. Proses pendekatan tersebut memerlukan waktu penjernihan, karena pengelolaan air harus terus menerus berlangsung, melalui asa pendekatan sistem. Sistem pengelolaan sumberdaya air terpadu terdiri dari tiga sub sistem (Mochtar, 2002) yaitu :

1. Subsistem monitoring

© Berupa jaringan hidrologi dan hidrometri (sesuai kebutuhan)

© Untuk menyajikan real time allocation membutuhkan peralatan telemetri dan model matematik yang handal

© Sumberdaya manusia berupa tenaga ahli untuk analisa sistem, ahli hidrologi, ahli komputer dan ahli elektronika

2. Subsistem Konservasi,

© Mempunyai spektrum yang luas, mulai dari pengendalian kondisi hidrologis di daerah hulu, pengendalian aliran dengan sarana fisik sepanjang aliran, hingga pengendalian kualitas dari hulu hingga hilir

© Sumberdaya manusia berupa tenaga ahli hidrologi, konservasi tanah, kehutanan, teknik bendungan, kualitas air, dan lain-lain.

© Adanya peraturan yang jelas dan diberlakukan law enforcement dengan tegas

© Koordinasi antar berbagai instansi terkait

3. Subsistem alokasi

© Pada sumber air yang dipergunakan untuk berbagai kepentingan (pertanian, industri, domestik, dan sebagainya) membutuhkan tata cara perijinan yang jelas, sistem operasi yang handal dan pengawasa yang tegas.

© Pengambilan keputusan dari saat ke saat didasarkan pada tatanan yang bersifat baku, koordinasi antar instansi dibatasi untuk kondisi yang sangat darurat saja.

Sistem pengelolaan sumberdaya air di masa mendatang, disamping menyangkut masalah-masalah fisik dan pembiayaan, juga masalah kelembagaan termasuk didalamnya adalah peraturan, personil (SDM), peralatan serta pelatihan, akan semakin berperan. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya air amat diperlukan guna melaksanakan pengelolaan sumberdaya air secara benar, efisien dan efektif (Isnugroho, 2002).

Dikarenakan perencanaan pengelolaan sumberdaya air dihadapkan pada berbagai persoalan yang banyak, sementara krisis ekonomi terus melanda negara kita, maka diperlukan upaya-upaya dan program terobosan sebagai alternatif jalan keluar dari berbagai masalah tersebut. Pergeseran paradigma, perubahan dan kemelut yang berkembang sangat cepat menuntut upaya reformasi kebijakan (policy reform) dalam pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan sumberdaya air dilaksanakan dalam upaya menanggulangi permasalahan tersebut dengan antisipasi yang harus disiapkan (Isnugroho, 2002) antara lain :

(1) Pembentukan wadah pengelolaan sumberdaya air nasional dalam rangka peningkatan koordinasi perencanaan, pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air lintas sektoral dan wilayah melalui pendekatan partisipatif.

(2) Meningkatkan kemampuan sumberdaya air untuk meningkatkan persediaan air guna memenuhi kebutuhan perkotaan yang berkembang sangat pesat.

(3) Melalukan upaya pengendalian kuantitas air melalui :

a. Pengendalian pemanfaatan lahan di daerah tangkapan air berdasarkan rencana tata ruang terpadu

b. Penetapan alokasi air secara adil untuk masing-masing pengguna air irigasi, pembangkit tenaga listrik, air minum dan industri, perikanan darat, pariwisata, dan lain-lain.

c. Pendistribusian air secara optimal melalui pengoperasian bangunan prasarana pengairan yang ada.

d. Pengendalian pemanfaatan air tanah, baik untuk kepentingan industri maupun untuk keperluan pertanian, sehingga dihindari pemakaian air tanah yang berlebihan.

(4) Melakukan upaya pengendalian kualitas air melalui :

a. Pencegahan kerusakan sumberdaya air yang dilakukan dengan upaya-upaya menetapkan perijinan pembuangan air limbah cair berdasarkan suatu rencana induk (master plan) kualitas air yang menjangkau sasaran kualitas air sesuai baku mutu.

b. Upaya penanggulangan pencemaran untuk mencegah meluasnya pencemaran yang terjadi.

c. Usaha-usaha yang harus dilakukan untuk memulihkan kembali/mengembalikan kondisi sumberdaya air dan lingkungan yang telah tercemar.

(5) Menciptakan iklim investasi agar dapat menarik minat masyarakat terutama swasta untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan sumberdaya air dan sistem transmisinya.

(6) Mengembangkan perangkat hukum dan kelembagaan pengairan untuk meningkatkan keterpaduan pengelolaan sumberdaya air melalui koordinasi nyata serta meningkatkan peran swasta.

(7) Pembentukan lembaga pengelola sumberdaya air wilayah sungai secara mandiri dengan prinsip pengusahaan, misalnya pembentukan balai pengelola sumberdaya air bagi wilayah-wilayah sungai yang sedang berkembang.

(8) Peningkatan peran serta masyarakat melalui peningkatan pemahaman dan kesadaran mereka dalam memperlakukan air dan sumber air serta prasarana pengairan yang telah dibangun terutama yang menyangkut operasi pemeliharaan.

Khusus untuk pengelolaan air tanah (ground water), agar pengelolaannya bisa diintegrasikan dengan pengelolaan air permukaan maka perlu pemahaman konsep pengelolaan ground water yang lebih baik. Konsep pengelolaan air tanah sebenarnya tidak berbeda dengan konsep pengelolaan air permukaan. Pengelolaan air permukaan didasarkan pada pemahaman daerah aliran sungai (river basin), dengan konsep :’One River – One Plan –One Management”. Sedangkan pengelolaan air tanah didasarkan pada pemahaman Cekungan Air Tanah (Groundwater Basin), dengan konsep One Basin – One Plan –One Management”, yaitu dengan mendasarkan pada konsep sistem aliran air tanah (Groundwater Flow System) yang dibedakan menjadi (1) sistem aliran air tanah regional, (2) intermediate, dan (3) sistem aliran air tanah lokal atau artificial groundwater flow system. Mengingat pengelolaan air tanah pada saat sekarang masih berorientasi proyek dan belum didasari oleh konsep yang benar, maka perlu adanya pendekatan konsep untuk pengelolaan air tanah secara menyeluruh (Total Groundwater Management) (Hendrayana, 2002).

Implementasi dari pengelolaan sumberdaya air tanah perlu didahului oleh beberapa kegiatan awal, yaitu : (1) penentuan daerah/basin yang akan dikelola, (2) penyusunan sistem informasi dan data base, dan (3) evaluasi data yang tersedia. Selain itu mutlak adanya dukungan komitmen semua yang pihak terkait pada pelaksanaan pengelolaannya. Penyusunan data base dan sistem informasi dapat dilaksanakan melalui pengumpulan data primer maupun sekunder, termasuk aspek legal, manajerial dan aspek teknis.

Cekungan air tanah sebagi satuan pengelolaan air tanah yang paling baik secara umum didefinisikan sebagai suatu cekungan hidrogeologi pada suatu wilayah yang dibatasi oleh kondisi hidraulika yang berbeda, yang mengandung satu akifer atau lebih dengan penyebaran yang luas. Cekungan air tanah secara alamiah dibatasi oleh batas-batas hidraulika yang dikontrol oleh karaktersitik geologi dan hidrogeologi wilayah setempat. Suatu cekungan air tanah dapat dibatasi oleh satu atau lebih tipe batas yang kondisi hidraulika pada setiap batasnya berbeda-beda (Hendrayana, 2002).

Dari definisi tersebut terlihat bahwa sebagaimana pemahaman aliran air dalam suatu DAS, aliran air tanah pun dapat lintas wilayah administrasi, baik lintas kabupaten/kota, lintas propinsi bahkan dapat lintas negara. Sehingga pada kasus-kasus groundwater basin yang lintas wilayah administrasi, pemanfaatan air tanah tidak didasarkan pada batas administrasi namun tetap harus didasarkan pada batas cekungan air tanah/ groundwater basin .

Agar pemanfaatan air tanah dapat lestari/berkelanjutan, maka perlu usaha-usaha yang serius demi tercapainya tujuan tersebut. Hendrayana (2002) mengemukakan bahwa secara umum pengelolaan cekungan air tanah dilaksanakan melalui tiga tahapan utama, yaitu :

1. Tahapan penelitian, untuk memperoleh gambaran karakteristik fisik cekungan air tanah, identifikasi rona awal kuantitas dan kualitas air tanah, inventarisasi permasalahan atau problem air tanah, dll.

2. Tahapan observasi, untuk memantau perkembangan atau perubahan kualitas dan kuantitas air tanah, analisa data dan mengumpulkannya pada sistem data base.

3. Tahapan pengelolaan, implementasi program pelaksanaan pengelolaan air tanah berbasis cekungan air tanah.

Konsep dasar sistem pola aliran air tanah secara regional, intermediate dan lokal sangat berperan dalam pendekatan konsep pengelolaan cekungan air tanah di suatu daerah, yaitu untuk pendekatan konsep pengelolaan kuantitas dan kualitas air tanah.

Aliran air tanah regional (Regional Groundwater Flow System) adalah aliran air tanah yang mengalir secara regional dari satu wilayah ke wilayah lainnya dalam satu atau antar cekungan air tanah. Pola aliran ini diperoleh dari pemetaan pada skala regional 1:100000 atau lebih kasar (1:250000 dan seterusnya). Konsep ini efektif digunakan dalam konsep pendekatan pengelolaan kuantitas air tanah. Aliran air tanah intermediate (Intermediate Groundwater Flow System) adalah aliran air tanah yang mengalir dari satu tempat ke tempat lainnya dalam satu cekungan air tanah. Pola aliran ini diperoleh dari pemetaan pada skala intermediate 1:50000 atau 1:25000. Konsep ini efektif digunakan dalam konsep pendekatan pengelolaan kuantitas air tanah dan pada kondisi tertentu untuk pendekatan pengelolaan kualitas air tanah. Aliran air tanah Lokal (Local Groundwater Flow System) adalah aliran air tanah yang mengalir dari satu lokasi ke lokasi lainnya dalam satu cekungan air tanah. Pola aliran ini diperoleh dari pemetaan pada skala rinci 1:12500 atau lebih detail 1:10000 dan seterusnya. Pola aliran ini sebagian besar merupakan kondisi aliran air tanah yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia, namun dibeberapa tempat tertentu merupakan kondisi alamiah (dikontrol oleh kondisi morfologi setempat (faktor geogen). Konsep ini efektif digunakan dalam konsep pendekatan pengelolaan kualitas air tanah (Hendrayana, 2002).

Pendekatan konsep pengelolaan kuantitas air tanah dengan melihat pola aliran air tanah regional maupun pola aliran air tanah intermediate untuk kemudian dibuat neraca air tanah dari suatu groundwater basin tertentu. Dengan mengetahui besarnya neraca air tanah, maka dapat diketahui berapa besarnya debit air tanah yang dapat dimanfaatkan. Agar pengelolaan air menjadi lebih integratif, maka pola pendekatan konsep tersebut harus dipadukan dengan konsep pengelolaan air permukaan yang berbasis DAS. Hal ini dilakukan untuk analisis sistem aliran regional ataupun intermediate dan karakterisasi daerah recharge dan discharge aliran permukaan. Dengan demikian neraca air permukaan juga dapat dihitung dengan lebih baik.

Sedangkan pengelolaan kualitas air tanah akan sangat terkait dengan proses kontaminasi atau pencemaran air tanah. Dalam pengelolaan kualitas air tanah ini, konsep mikrohidrogeologi dapat diterapkan pada cekungan air tanah untuk mengetahui sistem aliran air tanah secara lokal (Local Groundwater Flow System), yang pada dasarnya sangat berpengaruh pada proses dan pergerakan massa/kontaminan dalam air tanah. Dengan berbasis pada konsep aliran air tanah secara lokal ini, maka data hidrokimia air tanah dan air permukaan sangat berkaitan dalam cekungan air tanah dan daerah aliran sungai, serta dengan dukungan sistem database yang baik maka implementasi konsep pengelolaan kualitas air tanah ini dapat dilaksanakan dengan lebih akurat.

F. Penutup

Walaupun Indonesia dikategorikan sebagai negara yang memiliki sumberdaya air berlimpah, memasuki abad 21 kelangkaan sumber air sudah menjadi kenyataan untuk sebagian wilayah di Indonesia, khususnya daerah perkotaan dan pusat-pusat pengembangan wilayah di sekitar perkotaan. Oleh karena itu segala upaya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air diperlukan untuk mengurangi dampak krisis air terhadap sosial ekonomi masyarakat.

Pengelolaan sumberdaya air dalam suatu wilayah ditujukan guna meningkatkan efisiensi dan produktifitas dalam penyediaan air, khususnya dalam penyediaan air, khususnya dalam penyediaan air untuk keperluan pertanian, domestik, industri, pariwisata, pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain.

Pengelolaan sumberdaya air dalam suatu wilayah sungai dilakukan dengan sistem “one river, one plan, one management”. Sedangkan pengelolaan air tanah didasarkan pada pemahaman Cekungan Air Tanah (Groundwater Basin), dengan konsep One Basin – One Plan –One Management”, yaitu dengan mendasarkan pada konsep sistem aliran air tanah (Groundwater Flow System) yang dibedakan menjadi (1) sistem aliran air tanah regional, (2) intermediate, dan (3) sistem aliran air tanah lokal atau artificial groundwater flow system. Selain itu, hal yang perlu dipertimbangkan akibat adanya konsekuensi tersebut adalah biaya dan manfaat yang timbul diatur dalam pembagian pembebanan dan pendapatan secara adil dan proporsional di antara pemerintah daerah yang terlibat, dunia usaha dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Budihardjo, S. 2002. Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Era Otonomi Daerah di dalam Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah. Editor : Kodoatie, R. J., S. Sangkawati dan S. Edhisono. Penerbit Andi Yogyakarta.

Helmi. 2002. Tantangan Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air di Indonesia di dalam Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Editor : Nugroho, S. P., S. Adi dan B. Setiadi. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.

Hendrayana, H. 2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan di dalam Pengelolaan dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia Editor : Nugroho, S. P., S. Adi, dan B. Setiadi. Cetakan I. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.

Isnugroho. 2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya air Dalam Suatu Wilayah di dalam Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah. Editor : Kodoatie, R. J., S. Sangkawati dan S. Edhisono. Penerbit Andi Yogyakarta.

Mochtar, T. 2002. Pengelolaan Air dan Sumber Air Terpadu yang Berkelanjutan di dalam Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah. Editor : Kodoatie, R. J., S. Sangkawati dan S. Edhisono. Penerbit Andi Yogyakarta.

Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia. 2002. Kata Pengantar pada Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Editor : Nugroho, S. P., S. Adi dan B. Setiadi. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.

Pawitan, H. 2002. Menantisipasi Krisis air di Indonesia Memasuki Abad 21 di dalam Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Editor : Nugroho, S. P., S. Adi dan B. Setiadi. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.

Tidak ada komentar: